Revisi Sejarah atau Revisi “Dosa” Soeharto?

Cristian Hans Pebrianta Sitepu Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

Oleh: Cristian Hans Pebrianta Sitepu*)

SUARAMUDA, SEMARANG – Bangsa Indonesia baru-baru ini dikejutkan wacana penulisan ulang sejarah Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan RI.

Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, mengatakan proyek ini akan melibatkan 100 sejarawan dari berbagai perguruan tinggi.

Dikatakan, tujuan penulisan ini untuk menghasilkan buku yang merupakan ‘sejarah resmi’ (official history) dengan orientasi dan kepentingan nasional, untuk meningkatkan rasa kebangsaan dan cinta Tanah Air.

Buku ini nantinya akan ditulis sebanyak 10 (sepuluh) jilid oleh sejarawan Indonesia sendiri secara kolektif.

Meski demikian, upaya itu kemudian memunculkan diskursus. Ada beberapa poin penting yang memicu perdebatan tentang program yang telah dicanangkan Kementrian Kebudayaan ini.

Poin-poin tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut. Pertama, tidak adanya urgensi yang valid tentang penulisan ulang sejarah Indonesia.

Berdasarkan fakta, rencana tentang penulisan ulang sejarah Indonesia ini belum memiliki urgensi yang valid dalam melatarbelakangi program.

Sebaliknya, justru saat ini masih banyak program yang lebih krusial dan sangat memerlukan atensi lebih dari pemerintah.

Program itu, misalnya, Makan Bergizi Gratis (MBG), pergantian kurikulum nasional dan program krusial lainnya yang jauh lebih penting serta memiliki urgensi yang lebih jelas.

Kedua, memerlukan biaya yang cukup mahal, namun tanpa output yang jelas. Mengingat kondisi perekonomian negara yang baru saja di landa efisiensi besar-besaran maka rancangan program yang diperkirakan menelan biaya Rp 9 miliar sangat dinilai tak sejalan dengan arahan sang presiden.

Ketiga, banyaknya penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Sejatinya, program yang digagas Kementrian Kebudayaan ini tidak banyak mendapatkan respon yang cukup baik dari sejumlah kalangan.

Apakah itu masyarakat awam, aktivis, bahkan kalangan mahasiswa pun menolaknya. Fakta ini dapat disaksikan dari aksi penolakan mahasiswa, aktivis hingga sejarawan yang turun ke jalan.

Hingga akhirnya, Komisi X DPR melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin, 19 Mei 2025 lalu.

Memunculkan Kecurigaan

Berdasarkan alasan-alasan di atas maka program ini dinilai masih sangat rancu untuk terus di laksanakan.

Terlebih, tak ada alasan objektif dan urgensi yang jelas terkait pelaksanaan program ini.

Sehingga, menimbulkan kecurigaan bahwa program ini hanya di gunakan sebagai dalih untuk memperbaiki nama baik Soeharto selama kepemimpinannya di era Orde Baru.

Apalagi, ada anggapan bahwa orang-orang yang duduk di pemerintahan saat ini sebagain diantaranya adalah ‘segerombolan’ orang yang pernah dekat dengan Soeharto.

Yang mendasari kecurigaan masyarakat pada awalnya ketika MPR mengambil keputusan pada Rapat Paripurna, Rabu 25 September 2024 untuk mencabut nama Soeharto dari TAP MPR NO XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih bebas KKN dan nepotisme.

Hal ini sudah sangat melecehkan para korban dan para keluarga korban kasus pelanggaran HAM di era Orde Baru itu sendiri. Karena, seolah negara ingin melupakan “kejahatan besar” yang belum terselesaikan.

Kemudian muncul lagi wacana untuk penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto.

Lagi dan lagi, para korban pelanggaran HAM tak ingin dilecehkan berulang kali oleh negara sendiri.

Di mana negara yang seharusnya menjaga setiap hak warga negaranya malah “menghilangkan” dan “melupakan” hak warga negaranya.

Sudah seharusnya, Menteri Fadli Zon konsisten atas gerakan dan idealisme saat dulu menjadi aktivis yang pada saat itu menurunkan Sorharto dari kursi presiden.

Bukan sebaliknya, saat menjabat di pemerintahan kemudian memuja sosok yang dulunya dianggap berseberangan, hingga mendorong gelar pahlawan bagi sosok tersebut.

Ini sangat ironis! Sehingga orang awam malah beranggapan “jangan-jangan setelah duduk di kursi pemerintah, justru ia mulai lupa dengan sejarah masa kelam yang suram itu.

Prakarsa Fadli Zon justru blunder, dan sangat memungkinkan munculnya pendapat: jangan-jangan langkah ini adalah upaya untuk menghilangkan dosa besar Orde Baru? Ah, semoga tidak! (Red)

*) Cristian Hans Pebrianta Sitepu
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like