
Oleh: Lodia Aryani *)
SUARAMUDA, SEMARANG — Lada, yang dikenal dengan nama ilmiah Piper nigrum, merupakan salah satu rempah-rempah terpenting dan paling banyak digunakan di dunia.
Sejak masa lampau, tanaman ini telah dimanfaatkan tidak hanya sebagai bumbu masak, tetapi juga sebagai bahan dalam pengobatan tradisional.
Asalnya dari India Selatan, lada kini telah tersebar luas ke berbagai wilayah tropis, termasuk Indonesia.
Kepulauan Bangka Belitung dikenal sebagai salah satu daerah penghasil lada putih unggulan, yang memiliki aroma khas, rasa pedas yang kuat, serta nilai ekonomi tinggi baik di pasar lokal maupun internasional.
Secara garis besar, terdapat tiga jenis lada yang umum dikenal, yakni lada hitam, lada putih, dan lada hijau. Lada hitam berasal dari buah lada yang dipetik sebelum matang sepenuhnya lalu dikeringkan
Kemudian, Lada putih, yang menjadi komoditas utama Bangka Belitung, diperoleh dari buah matang yang direndam untuk menghilangkan kulit luarnya, menghasilkan rasa lebih lembut namun tetap pedas.
Lada hijau dihasilkan dari buah muda dan biasanya diawetkan untuk mempertahankan warnanya.
Dari sisi kesehatan, kandungan piperine dalam lada telah terbukti memiliki berbagai manfaat. Piperine dapat memperbaiki fungsi sistem pencernaan, membantu penyerapan zat gizi, serta bersifat antioksidan, anti-inflamasi, dan antibakteri.
Oleh karena itu, lada banyak dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional maupun produk suplemen modern.
Dalam dunia kuliner, lada merupakan bumbu yang sangat fleksibel dan digunakan di hampir semua jenis masakan global. Di Asia, lada kerap digunakan dalam sup, kari, serta masakan berbasis daging.
Di dunia Barat, rempah ini digunakan dalam saus, salad, dan makanan panggang. Di Bangka Belitung sendiri, lada tidak hanya penting dalam budaya memasak, namun juga menjadi sumber pendapatan utama bagi petani lokal.
Tantangan dan Problem Pengelolaan
Namun, pengelolaan lada di Bangka Belitung masih menghadapi tantangan yang signifikan.
Salah satu isu utama adalah rendahnya produktivitas tanaman akibat serangan hama, kualitas bibit yang kurang baik, dan teknik budidaya yang belum modern.
Banyak petani masih menggunakan metode konvensional tanpa dukungan teknologi pertanian terbaru. Akses terbatas terhadap pupuk dan pestisida juga memperburuk kondisi ini.
Selain itu, lemahnya kelembagaan petani menjadi hambatan besar. Kebanyakan petani bekerja secara individual, sehingga posisi tawar mereka lemah dalam menghadapi pembeli atau pelaku industri pengolahan.
Ketergantungan terhadap tengkulak membuat harga jual yang diterima jauh dari harapan.
Dari sisi pemasaran, branding lada Bangka Belitung belum optimal. Padahal, dengan kualitas produk yang dimiliki, seharusnya lada ini dapat memiliki identitas dagang yang kuat di pasar global.
Pemerintah daerah dan lembaga terkait perlu terlibat aktif dalam promosi produk melalui pameran maupun media digital.
Nilai tambah dari lada juga belum dimaksimalkan. Mayoritas hasil panen dijual dalam bentuk mentah, padahal potensi pengolahan menjadi produk turunan seperti lada bubuk, minyak lada, atau makanan olahan sangat besar.
Untuk itu, dukungan pada sektor industri pengolahan dan pelatihan UMKM menjadi penting.
Pemerintah memegang peranan kunci dalam pembinaan petani dan pengembangan sektor ini. Diperlukan program pelatihan, penyediaan alat pertanian, serta kemudahan akses modal.
Pembentukan koperasi tani juga perlu diperkuat untuk meningkatkan daya saing petani.
Kolaborasi dengan akademisi dan lembaga penelitian penting untuk mendukung inovasi teknologi budidaya lada yang efisien dan ramah lingkungan.
Keterlibatan sektor swasta dalam pengolahan dan ekspor juga akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih merata di Bangka Belitung.
Kesimpulannya, pengembangan komoditas lada di Bangka Belitung membutuhkan pendekatan manajemen yang menyeluruh dan terpadu.
Dengan strategi yang tepat serta membentuk kerjasama yang saling menguntungkan antar berbagai pihak yang terlibat, lada dari Bangka Belitung ini berpotensi besar untuk tumbuh menjadi komoditas unggulan yang mampu bersaing secara global secara berkelanjutan. (Red)
*) Lodia Aryani, Mahasiswa Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Bangka Belitung
**) Artikel ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah, isi dan pesan dalam artikel bukan menjadi tanggung jawab redaksi