
Oleh: Tabita Suci Napitupulu *)
SUARAMUDA, SEMARANG — UMKM kreatif di Bangka Belitung menjadi salah satu penggerak ekonomi utama, dengan sektor-sektor seperti kerajinan timah, kuliner khas daerah, fashion batik, dan pariwisata yang semakin berkembang.
Peran UMKM tidak hanya terbatas pada penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat lokal, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Namun, meskipun memiliki potensi besar, sebagian besar UMKM masih menghadapi kesulitan dalam hal pengelolaan keuangan, yang menjadi fondasi penting bagi keberlangsungan dan pengembangan usaha.
Salah satu permasalahan utama yang dihadapi adalah rendahnya tingkat adopsi Standar Akuntansi Keuangan Entitas Mikro Kecil dan Menengah (SAK EMKM).
Padahal, SAK EMKM dirancang khusus untuk mempermudah pelaku usaha kecil dalam menyusun laporan keuangan secara sederhana, terstruktur, dan sesuai standar.
Standar ini dapat membantu UMKM dalam mengelola pendapatan dan pengeluaran, mengevaluasi performa usaha, serta meningkatkan kepercayaan mitra bisnis dan lembaga keuangan.
Salah satu kasus nyata yang menunjukkan rendahnya tingkat adopsi SAK EMKM adalah kelompok pengrajin timah di Pangkalpinang.
Meskipun produk mereka telah dipasarkan ke berbagai daerah, mulai dari Jakarta hingga Palembang, mereka tidak memiliki laporan keuangan yang jelas dan terstruktur. Mereka mencatat transaksi menggunakan buku tulis biasa tanpa memperhatikan standar akuntansi yang baku.
Ketika ada tawaran kerja sama dengan salah satu distributor besar, pihak distributor meminta laporan keuangan untuk mengevaluasi kelayakan usaha mereka.
Karena tidak memiliki laporan yang memadai, peluang kerja sama tersebut terlewatkan. Ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan dalam mengelola keuangan secara benar dapat menghambat perkembangan usaha, meskipun produk yang ditawarkan sangat potensial.
Sementara itu, sebuah kasus lain datang dari UMKM kuliner di Belinyu, Bangka. Mereka sempat mendapatkan bantuan alat produksi dari program Corporate Social Responsibility (CSR) sebuah perusahaan besar.
Namun, ketika diminta membuat laporan keuangan sebagai bagian dari evaluasi penggunaan dana bantuan tersebut, mereka hanya mampu menyerahkan laporan yang sangat sederhana: hanya mencatat total penjualan tanpa mengelompokkan biaya-biaya operasional lainnya.
Hal ini menyebabkan ketidaksesuaian dalam laporan keuangan dan mempengaruhi kelangsungan program bantuan tersebut. Kejadian ini menggambarkan pentingnya adanya sistem pembukuan yang rapi dan sesuai dengan standar, apalagi ketika melibatkan dana pihak ketiga atau kerja sama bisnis yang mensyaratkan akuntabilitas dan transparansi keuangan.
Namun, tidak semua cerita berakhir dengan tantangan. Di Toboali, Bangka Selatan, terdapat contoh yang cukup inspiratif dari kelompok pengrajin batik yang berhasil memanfaatkan pelatihan akuntansi sederhana.
Mereka telah memulai langkah pertama dengan mencatat laba rugi menggunakan aplikasi pembukuan digital, meskipun masih jauh dari penerapan SAK EMKM secara penuh.
Mereka mendapat dukungan dari mahasiswa akuntansi melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN), yang turut mengedukasi mereka tentang pentingnya laporan keuangan.
Meskipun belum sepenuhnya mengikuti standar akuntansi formal, mereka kini dapat dengan mudah melacak pengeluaran dan pendapatan usaha mereka.
Serta, merencanakan langkah bisnis selanjutnya dengan lebih baik. Ini adalah contoh bagaimana pelatihan berbasis komunitas dan pendampingan langsung dapat memberikan dampak positif bagi UMKM.
Dari berbagai kasus ini, dapat disimpulkan bahwa penerapan SAK EMKM di Bangka Belitung masih menghadapi beberapa hambatan yang cukup besar.
Hambatan itu antara lain: rendahnya literasi keuangan di kalangan pelaku UMKM, kurangnya pendampingan teknis dalam penerapan standar akuntansi, serta belum adanya dorongan yang kuat dari lembaga keuangan atau pemerintah daerah untuk mewajibkan laporan keuangan yang sesuai standar.
Banyak pelaku UMKM yang masih berpikir bahwa pencatatan keuangan formal hanya diperlukan oleh perusahaan besar. Mereka belum memahami bahwa laporan keuangan tidak hanya dibutuhkan untuk kepatuhan administratif, tetapi juga untuk pengambilan keputusan bisnis yang lebih bijak dan terarah.
Selain itu, masih terdapat tantangan dalam hal keterbatasan akses terhadap teknologi dan sumber daya manusia yang kompeten di bidang akuntansi.
Di beberapa daerah, UMKM bahkan belum mengenal aplikasi pembukuan sederhana atau tidak memiliki perangkat yang memadai untuk menggunakannya. Ini menunjukkan bahwa strategi edukasi dan transformasi digital juga harus menjadi bagian dari pendekatan dalam mendorong adopsi SAK EMKM secara lebih luas.
Pemerintah daerah dan lembaga keuangan perlu lebih aktif dalam memberikan pelatihan yang terstruktur dan berkelanjutan tentang pentingnya akuntansi dan penerapan SAK EMKM.
Tidak cukup hanya dengan menyelenggarakan pelatihan satu kali, melainkan harus ada program pendampingan lanjutan yang memungkinkan pelaku UMKM mendapatkan bantuan teknis secara langsung.
Selain itu, perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya bisa berperan sebagai penggerak perubahan dengan melibatkan mahasiswa dalam program pengabdian masyarakat.
Seperti yang dilakukan di Toboali, pelatihan langsung dengan menggunakan aplikasi pembukuan yang sederhana dapat menjadi langkah awal yang efektif dan terjangkau.
Banyak pelaku UMKM yang bahkan tidak tahu bagaimana cara menyusun laporan laba rugi, apalagi membuat neraca atau arus kas yang sesuai standar.
Oleh karena itu, edukasi dan pendampingan berkelanjutan sangat diperlukan untuk mengubah mindset dan meningkatkan kapasitas mereka dalam mengelola keuangan. Tanpa pemahaman dan praktik pencatatan keuangan yang baik, UMKM akan kesulitan berkembang dan bersaing di era yang semakin kompetitif.
Menurut saya, dengan memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang manfaat SAK EMKM—tidak hanya untuk memenuhi kewajiban, tetapi juga untuk memperkuat fondasi bisnis jangka panjang—maka UMKM akan lebih siap untuk bersaing di pasar yang lebih luas, mendapatkan akses pembiayaan, dan memperluas jaringan kerja sama.
Namun, untuk mencapai ini, dibutuhkan sinergi antara pemerintah, lembaga keuangan, akademisi, dan pelaku usaha itu sendiri. Hanya dengan kerja sama lintas sektor inilah proses transformasi keuangan UMKM dapat berjalan secara menyeluruh, inklusif, dan berkelanjutan. (Red)
*) Tabita Suci Napitupulu, mahasiswa Akuntansi, Universitas Bangka Belitung
**) Artikel ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah, isi dan pesan dalam artikel bukan menjadi tanggung jawab redaksi