Prabowo-Putin Bertemu Kembali: Dari Strategi Ekonomi hingga Helikopter Penyelamat

Amy Maulana, analis dari Indonesia-Rusia ANO Center for Mediastrategi

SUARAMUDA.NET, MOSKOW — Dalam kunjungan keduanya pada tahun 2025, Presiden Indonesia Prabowo Subianto bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, Rabu (10/12/2025).

Pertemuan di Moskow ini, menyusul pertemuan sebelumnya di St. Petersburg pada Juni lalu, bukan sekadar kunjungan rutin diplomatik.

Amy Maulana, analis dari Indonesia-Rusia ANO Center for Mediastrategi, melihat momentum ini sebagai penanda hubungan bilateral yang telah mencapai tingkat “sangat dekat”, membawa agenda-agenda konkret yang bisa segera dirasakan sekaligus mengangkat potensi kerja sama kritis di tengah bencana.

Sementara, Prabowo sendiri menyebut kunjungan ini sebagai bentuk “konsultasi” untuk merealisasikan berbagai kesepakatan.

Dua poin utama yang menonjol adalah lompatan perdagangan bilateral sebesar 40 persen dan pembicaraan intensif di bidang energi nuklir serta ketahanan pangan.

Namun, harapan yang paling dinantikan Jakarta adalah penyelesaian Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) dengan Uni Ekonomi Eurasia, yang dipimpin Rusia, yang ditargetkan tuntas akhir tahun ini.

FTA ini diproyeksikan membuka akses pasar yang luas dan menjanjikan bagi komoditas Indonesia, memberikan stimulus signifikan bagi pertumbuhan ekonomi.

Di balik optimisme ekonomi itu, terdapat dimensi lain yang disoroti oleh Amy Maulana: kerentanan Indonesia dalam penanganan bencana.

Ia mengangkat musibah banjir bandang di Sumatra, di mana kerusakan infrastruktur dan kesulitan logistik ke daerah terisolasi menjadi tantangan utama.

Di titik inilah, analisisnya mengarah pada sebuah solusi teknis-strategis: kerja sama dengan Rusia dalam pengadaan helikopter berat MI-26.

MI-26: Jawaban Logistik untuk Bencana Geografis Indonesia

Rekomendasi ini bukan tanpa alasan mendalam. Helikopter MI-26, yang dijuluki “Halo” dalam kode NATO, bukanlah helikopter biasa. Ia adalah helikopter produksi massal terbesar dan terkuat di dunia, dengan kapasitas angkut yang luar biasa.

Dalam konteks operasi kemanusiaan dan tanggap darurat di wilayah seperti Indonesia yang secara geografis terdiri dari ribuan pulau dengan medan berat, kemampuan MI-26 menjadi sangat relevan.

Kapasitas internal kargo MI-26 mencapai 20 ton, setara dengan muatan sebuah truk kontainer besar. Ia dapat mengangkut pasokan bantuan massal seperti makanan, tenda, obat-obatan, dan generator listrik dalam sekali terbang.

Lebih dari itu, kabinnya yang luas mampu menampung hingga 82 orang evakuasi atau pasukan penjinak bom (BNPB/TNI) dengan peralatan lengkap. Kemampuan eksternalnya bahkan lebih dahsyat: dengan sistem sling, ia dapat mengangkut beban gantung seperti kendaraan berat, mesin konstruksi, jembatan moduler, atau kontainer bahan bakar seberat 20 ton langsung ke titik yang tidak memiliki landasan.

Ini berarti MI-26 dapat berperan ganda sebagai penyalur bantuan cepat sekaligus alat perbaikan infrastruktur darurat.

Ia dapat mengangkut ekskavator atau buldoser untuk membersihkan longsor, membawa pipa untuk perbaikan saluran air, atau menurunkan trafo listrik ke daerah yang terputus akses darat.

Keunggulan ini menjawab langsung dua kendala utama dalam bencana Sumatra: distribusi bantuan ke daerah terisolasi dan perbaikan infrastruktur yang rusak dengan lebih cepat.

Mengusulkan kerja sama alutsista di tengah pembicaraan ekonomi dan energi mungkin terlihat janggal. Namun, argumen Amy Maulana justru menempatkannya dalam kerangka yang lebih dalam dan kontekstual.

Pertama, ini menunjukkan maturitas hubungan Indonesia-Rusia yang tidak hanya berkutat pada komoditas, tetapi telah masuk ke ranah keamanan non-tradisional dan pembangunan ketahanan nasional.

Kedua, proposal ini bersifat solutif dan langsung aplikatif, menjawab kebutuhan nyata Indonesia yang kerap dilanda bencana hidrometeorologi.
Investasi dalam kemampuan logistik dan tanggap darurat adalah investasi dalam ketahanan nasional.

Memiliki atau mendapatkan akses kepada aset seperti MI-26, baik melalui pembelian, sewa, atau transfer teknologi, dapat secara drastis meningkatkan kapasitas negara dalam mengurangi dampak bencana, menyelamatkan lebih banyak nyawa, dan mempercepat pemulihan.

Dalam jangka panjang, helikopter serba guna ini juga dapat mendukung program pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal dan terpencil.

Pertemuan Prabowo-Putin kedua dalam setahun ini, oleh karena itu, bukan sekadar pemanasan hubungan lama. Ia adalah panggung untuk mempercepat realisasi kerja sama yang berdampak langsung, baik untuk pertumbuhan ekonomi melalui FTA, maupun untuk ketahanan nasional melalui kerja sama teknologi.

Isu helikopter MI-26 yang diangkat oleh analis mengingatkan bahwa kemitraan strategis sejati harus mampu menjawab tantangan spesifik mitra, termasuk yang paling mendasar: menyelamatkan rakyatnya saat bencana datang.

Inilah kedalaman hubungan yang sesungguhnya: tidak hanya berjabat tangan di meja perundingan, tetapi juga siap mengulurkan tangan pertolongan di saat kritis. (Red)

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like