Oleh: Abdurrahman Ahady*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Sudah 65 tahun usia Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Namun, di usia yang cukup sepuh itu, khususnya di Sumatera Barat, PMII tampak masih berputar dalam lingkar persoalan lama.
Problem yang pernah saya soroti tiga tahun lalu dalam (Suara Gerakan, 2022)—tentang minimnya tradisi literasi, lemahnya kultur intelektual, dan ketiadaan desain kaderisasi yang kokoh di tubuh PKC PMII Sumatera Barat, nyatanya belum juga berubah.
Pergantian kepengurusan yang berulang seakan hanya menjadi ritual periodik tanpa adanya usaha untuk berbenah. Masing-masing kepengurusan “katanya” datang dengan semangat baru, namun pergi dengan meninggalkan tumpukan pekerjaan rumah yang sama.
Tidak ada kesinambungan ideologis, tidak ada konsistensi gerakan, bahkan seringkali tidak ada evaluasi serius terhadap kegagalan sebelumnya. Akibatnya, budaya organisasi berjalan dalam pola yang statis. Duh !
Padahal, PMII didirikan bukan sekadar untuk mengisi waktu luang mahasiswa. Untuk apa para “calon-calon pemikir muda” yang sudah jauh-jauh dan berlelah-lelah dari kampung halamannya direkrut, jika bukan untuk dibangun menjadi manusia kritis nan memiliki tradisi berpikir, berdialektika, dan beraksi sosial secara progresif.
PMII seharusnya menjadi laboratorium ide dan nilai. Namun di Sumatera Barat, potensi besar itu tampak mandek karena lemahnya orientasi dan kesadaran ideologis.
Salah satu akar persoalannya adalah nihilnya sistem kaderisasi yang terarah dan kolektif. Setiap komisariat dan rayon berjalan dengan cara masing-masing, tanpa pengawasan dan arahan kaderisasi yang jelas baik dari PKC maupun dari PC masing-masing.
Akibatnya, persepsi ideologis kader menjadi tidak seragam, bahkan kadang kontradiktif. Di beberapa kampus, kader PMII justru seolah kehilangan arah, karena organisasi tidak lagi menjadi ruang pembentukan gagasan, melainkan sekadar forum administratif atau tempat berhimpun saja.
Lebih parah lagi, tradisi literasi di tubuh PMII Sumatera Barat hampir “mati suri”. Aktivitas menulis, membaca, dan berdiskusi tidak menjadi budaya.
Diskusi yang merupakan napas gerakan, kini tergantikan oleh kegiatan seremonial. Padahal, sejarah mencatat bahwa kekuatan PMII selalu lahir dari arena intelektual—dari ruang-ruang diskusi kecil, forum dialektika ide, dan tulisan-tulisan kader yang tajam.
Perlu diingat, bahwa tanpa literasi, PMII kehilangan jati dirinya sebagai gerakan berbasis pengetahuan.
Organisasi mahasiswa semestinya menjadi wadah lahirnya intelektual muda yang peka terhadap realitas sosial. Namun ketika minat baca menurun, penulisan kader nyaris tidak ada, dan analisis sosial tak lagi jadi tradisi, maka yang tersisa hanyalah formalitas keanggotaan.
Kita mungkin masih bangga menyebut diri sebagai kader PMII, tapi kita lupa bertanya: apakah kita masih berpikir dan bergerak dengan semangat nilai-nilai Aswaja dan pembebasan sosial sebagaimana cita-cita pendiri PMII?
Apalagi, kini, PMII Sumatera Barat akan memulai babak baru: pemilihan ketua PKC PMII Sumatera Barat. Momentum ini seharusnya menjadi ajang refleksi, bukan sekadar pergantian posisi pimpinan.
Regenerasi kepemimpinan tidak akan berarti jika tidak diikuti dengan regenerasi budaya berpikir dan tradisi intelektual. Kepemimpinan yang lahir tanpa kesadaran ideologis hanya akan mengulang siklus kesalahan dengan gagah-gagahan di awal, lalu tenggelam dalam stagnasi di tengah jalan.
Pemimpin PMII ke depan harus memiliki visi literatif dan konseptual. Ia tidak cukup hanya pandai berbicara, tapi juga mampu membangun sistem.
Ia tidak cukup hanya memimpin forum, tapi harus mampu memimpin ide. Ia harus menempatkan literasi sebagai basis gerakan, karena hanya dengan pengetahuanlah pergerakan bisa menembus sekat-sekat sosial dan kultural.
PMII Sumatera Barat harus berani keluar dari zona nyaman. Sudah terlalu lama organisasi ini berjalan dengan mode “rutinitas”. Kaderisasi yang sejati bukan tentang banyaknya pelatihan, seminar, merayakan Hari Lahir, dan tetek-bengek kegiatan seremonial lainnya, melainkan tentang kualitas transformasi berpikir.
PMII perlu kembali kepada watak dasarnya menjadi wadah pergerakan yang mendidik, mencerdaskan, dan membebaskan.
Jika tidak ada langkah korektif yang serius, maka usia 65 tahun ini hanya akan menjadi angka yang dirayakan dengan poster tahunan yang terposting di media sosial tanpa adanya capaian yang bisa dibanggakan.
PMII akan kehilangan relevansi di tengah derasnya perubahan zaman, sementara kader-kadernya sibuk dengan hal-hal kecil yang tidak memberi dampak sosial maupun intelektual.
Harapan masih ada. Beberapa komisariat dan rayon sudah mulai menumbuhkan kesadaran baru dengan menghidupkan forum diskusi, menulis opini, dan merintis pelatihan kader yang lebih terarah.
Tetapi inisiatif-inisiatif kecil itu akan sia-sia tanpa dukungan struktural dari PKC. Sebab tanggung jawab membangun kultur pergerakan bukan sekadar tugas individu, melainkan tanggung jawab institusional.
Kembali juga diingatkan, PKC PMII Sumatera Barat harus membangun sebuah tim kaderisasi strategis yang berfungsi sebagai “jembatan ideologis” antar-PC hingga tingkat komisariat dan rayon.
Tim ini harus bekerja bukan hanya di atas kertas, melainkan secara terencana menyusun kurikulum kaderisasi, menyamakan visi gerakan, serta menanamkan kesadaran intelektual dan sosial kepada kader di seluruh wilayah.
Segala problematika yang telah diuraikan seharusnya menjadi titik balik. PMII Sumatera Barat perlu melakukan “otokritik” secara terbuka dan mengakui kegagalan, memetakan kelemahan, lalu merancang langkah baru yang lebih sistemik.
Regenerasi tidak boleh dimaknai sebatas “pergantian orang”, tapi sebagai peremajaan gagasan dan pembaharuan orientasi gerakan.
Kita tidak boleh puas hanya dengan eksistensi, sebab organisasi yang besar tanpa kedalaman intelektual hanyalah rumah kosong dengan plakat sejarah.
Sudah waktunya PMII Sumatera Barat bangkit, menegaskan kembali identitasnya sebagai gerakan mahasiswa Islam yang progresif, berilmu, dan berdaya sosial.
Perubahan itu tidak akan datang dari luar. Ia harus dimulai dari kesadaran internal melalui keberanian untuk membaca ulang nilai-nilai, menulis ulang arah gerakan, dan berpikir ulang tentang makna “pergerakan” itu sendiri.
Hanya dengan itu PMII Sumatera Barat akan kembali menemukan ruhnya. Barulah, setelah itu dapat berbangga meneriakkan “habislah sudah masa yang suram, selesai sudah derita yang lama” dengan tangan terkepal dan maju ke muka.
Salam Pergerakan! (Red)
*) Penulis: Abdurrahman Ahady, kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)