Oleh: Yohanes Soares*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Kasus kematian Prada Lucky Chepril Saputra Namo — prajurit muda Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) yang tewas setelah dianiaya oleh rekan sesama prajurit adalah lebih dari tragedi individu.
Ini adalah alarm keras bahwa institusi yang semestinya menjaga disiplin dan profesionalitas justru memfasilitasi pola kekerasan yang mendelegitimasi dirinya sendiri.
Menurut keterangan medis yang muncul dalam persidangan, tubuh Lucky ditemukan dengan banyak luka memar, bengkak di bagian perut, dada, pinggang, hingga paha, yang diduga akibat trauma benda tumpul maupun tajam.
Kasus itu ditetapkan sebagai penganiayaan yang berujung kematian dan setidak-tidaknya 20 orang anggota TNI telah ditetapkan sebagai tersangka.
Publik pun bereaksi keras. Keluarga korban menuntut agar para pelaku dipecat, dihukum seberat-beratnya, bahkan hukuman mati telah disebut sebagai salah satu tuntutan.
Hal ini bukan semata reaksi emosional, melainkan cerminan hilangnya kepercayaan terhadap sistem, ketika institusi internal dianggap gagal memberikan keadilan.
Kekerasan dan Disiplin: Garis Tipis yang Ternoda
Militer memiliki tugas mulia: menjaga kedaulatan, disiplin, dan profesionalitas. Namun ketika pembinaan berubah menjadi kekerasan, batas itu telah terlampaui.
Dan di sana, bukan hanya satu aktor yang bersalah tetapi sistem yang diam dalam diam memungkinkan terjadinya kekerasan tersebut.
Kepada publik, pernyataan resmi TNI bahwa kejadian ini dimulai sebagai kegiatan pembinaan menimbulkan pertanyaan besar: kapan pula pembinaan berubah jadi pemukulan, cambukan, bahkan penganiayaan fatal?
Jika komando membiarkan atau bahkan mengizinkan bawahannya melakukan pembinaan keras, maka kita menghadapi komando yang melemahkan akuntabilitas.
Dalam dinamika militer, komando adalah kunci. Jika seorang perwira terbukti ikut atau mengizinkan tindakan kekerasan, maka ia tidak bisa hanya diposisikan sebagai saksi atau korban budaya.
Ia adalah bagian dari chain of responsibility yang harus bertanggung jawab. Bila hanya pelaku lapangan yang ditindak sementara komando yang membiarkan bebas berkeliaran, maka sistem akan mengulang. Institusi dengan demikian gagal dalam pengawasan internal dasar.
Masalah lain muncul pada mekanisme hukum. Kasus Prada Lucky berada dalam pengadilan militer, dan banyak pihak menilai vonis yang mungkin akan dijatuhkan terlalu ringan termasuk sebagai bukti bahwa peradilan militer masih belum kredibel.
Koalisi masyarakat sipil telah menyerukan agar perubahan legislasi tentang peradilan militer segera direalisasikan agar anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum bisa diadili lewat pengadilan umum, bukan hanya militer. Ini penting demi persamaan di hadapan hukum dan kepercayaan publik.
Reformasi Kultur Militer: Mendesak, Tidak Bisa Ditunda
Jika hanya fokus pada pelaku dan hukuman, kita akan melewatkan persoalan yang lebih besar: kultur kekerasan yang mengakar di lingkungan militer.
Pembinaan berbasis senioritas, ritual yang melewati batas, tekanan kelompok, semuanya adalah aspek yang harus diputus.
Disiplin bukanlah paksaan racun, ia harus berdiri di atas keprofesionalan, bukan ketakutan. Rekomendasi Tegas:
1. Transparansi penuh proses hukum: kronologi, saksi harus terbuka.
2. Penerapan prinsip command responsibility: perwira yang membiarkan kekerasan harus diadili.
3. Reformasi kultur pembinaan: SOP jelas, mekanisme pelaporan aman, pelatihan HAM wajib.
4. Revisi undang-undang peradilan militer (UU No. 31/1997) agar TNI tidak memiliki zona bebas bagi pelanggaran tindak pidana umum.
5. Pemulihan bagi keluarga korban: kompensasi layak, layanan psikososial, dan jaminan karier/pembinaan baru agar trauma tidak terus menganga.
Penutup
Kasus Prada Lucky bukan hanya soal satu nyawa yang hilang , ini soal kepercayaan publik yang retak, soal institusi yang gagal mencegah kekerasan internal, dan soal apakah negara benar-benar berdiri di atas fondasi hukum dan HAM atau masih membiarkan kekerasan tertutup di balik jargon pembinaan.
Keadilan untuk Lucky menuntut lebih dari hukuman terhadap individu, ia menuntut perubahan sistemik yang tidak bisa ditunda lagi.
Dengan demikian, korban tak boleh menjadi hanya angka di statistik atau judul berita yang lalu dicampakkan.
Institusi dan negara harus menjawab: apakah mereka memilih reformasi atau membiarkan luka ini berdarah tanpa penyembuhan? (Red)
*) Yohanes Soares, Aktivis Sosial dan Peneliti Kebijakan Pendidikan dan Masyarakat Daerah Tertinggal; mahasiswa S3 Universitas Dr. Soetomo Surabaya