 
             
  
						 
 Oleh: Gita Silvia Ramadhani*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dirancang sebagai salah satu inisiatif unggulan pemerintahan saat ini memiliki misi yang luhur yaitu memastikan anak-anak Indonesia memperoleh asupan gizi yang pantas untuk pertumbuhan dan perkembangan yang ideal.
Namun, pelaksanaan program ambisius ini kini menghadapi dua permasalahan serius yang mengancam substansi dari program itu sendiri, yakni distribusi yang tidak seimbang dan tingginya kasus korupsi di tingkat pelaksanaan
MBG.
Ironisnya, inisiatif yang seharusnya menyelesaikan permasalahan nutrisi justru menciptakan ketidakadilan baru. Penelitian mengungkapkan bahwa “ketidakmerataan dalam distribusi makanan, keterbatasan infrastruktur pendidikan, dan pilihan makanan siswa masih menjadi halangan utama dalam pelaksanaan program” (Desiani & Syafiq, 2025).
Data di lapangan menunjukkan bahwa akses terhadap MBG sangat tidak merata, dengan konsentrasi yang tinggi di wilayah perkotaan dan daerah yang memiliki infrastruktur yang baik, sementara kawasan terpencil, tertinggal, dan wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Terpencil) masih diabaikan.
Masalah logistik menjadi salah satu tantangan utama. Sebagaimana dinyatakan dalam kajian pelaksanaan program, “distribusi makanan menjadi salah satu isu sentral dalam pelaksanaan program ini, khususnya di wilayah-wilayah terpencil. Kurangnya infrastruktur transportasi, terutama di lokasi yang susah dijangkau, sering mengakibatkan keterlambatan dalam pengiriman bahan makanan (Rahmah et al. , 2025).
Anak-anak di Papua, Nusa Tenggara Timur, atau kawasan pedalaman Kalimantan—tempat dengan angka stunting dan malnutrisi tertinggi seolah-olah menjadi warga kelas dua dalam program ini.
Mereka yang sangat memerlukan justru menjadi yang paling sulit dijangkau. Ketika anak-anak di Jakarta menikmati makanan bergizi yang lengkap, anak-anak di pedesaan yang terpencil masih menunggu kapan mereka akan mendapatkan hak serupa.
Ketidakadilan ini bukan sekadar masalah distribusi, tetapi juga gambaran dari lemahnya perencanaan dan komitmen pemerintah dalam menjamin keadilan distribusi.
Sebagaimana diidentifikasi dalam tinjauan hukum program ini, “ketidak siapan pemerintah dalam anggaran program MBG juga mencerminkan adanya kecenderungan terburu-buru dalam mengeksekusi program ini tanpa perencanaan yang matang” (Virlana & Tjoneng, 2025).
Untuk mewujudkan pemerataan program ini,
diperkirakan dibutuhkan dana sekitar 450 triliun rupiah, yang menimbulkan pertanyaan serius mengenai keberlanjutan dan kemampuan pemerintah untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia secara setara.
Korupsi: Musuh dalam Selimut
Jika ketidakmerataan menjadi pukulan pertama, maka korupsi adalah serangan yang jauh lebih menyakitkan. Berbagai kasus korupsi yang terungkap di dalam pelaksanaan MBG menunjukkan bahwa program ini telah menjadi kesempatan bagi individu-individu yang tidak bertanggung jawab.
Mulai dari kenaikan harga bahan baku, pembengkakan jumlah porsi, hingga penipuan terhadap kualitas bahan makanan—semuanya dilakukan demi keuntungan pribadi. Permasalahan ini semakin buruk karena kurangnya pengawasan.
Penelitian mengenai pelaksanaan program menunjukkan bahwa “pengawasan yang lemah terhadap kualitas makanan yang disediakan menjadi tantangan lain dalam program ini. Di beberapa kawasan, makanan yang disajikan tidak selalu mematuhi standar gizi yang diperlukan” (Rahmah et al. , 2025).
Bahkan ditemukan adanya “perbedaan antara makanan yang dihidangkan dengan standar gizi yang ditetapkan, serta porsi yang tidak konsisten” yang menunjukkan adanya penyimpangan dalam pelaksanaan program.
Lebih menyedihkan, tindakan korupsi ini berlangsung atas nama kebutuhan anak-anak Indonesia. Setiap rupiah yang dikorupsi adalah hak yang seharusnya didapatkan anak-anak untuk memperoleh nutrisi yang layak.
Setiap porsi yang diturunkan kualitasnya adalah pencurian terhadap investasi masa depan bangsa. Ini bukan lagi sekadar pelanggaran administratif, melainkan merupakan kejahatan kemanusiaan yang terorganisir.
Lemahnya pengawasan dan kontrol sistematis telah memungkinkan berkembangnya praktik korupsi ini.
Tingkat transparansi dalam pengelolaan anggaran MBG masih sangat rendah. Akuntabilitas publik hampir tidak ada. Masyarakat menghadapi kesulitan dalam mengakses informasi mengenai jumlah
anggaran yang disediakan, cara penggunaannya, serta pihak yang bertanggung jawab bila terjadi
penyimpangan.
Penelitian hukum mengenai program ini memperingatkan bahwa “penggunaan dana
untuk program makan siang bergizi tanpa adanya verifikasi yang jelas dapat menimbulkan masalah, karena berpotensi melanggar prinsip keadilan dalam distribusi” (Virlana & Tjoneng, 2025).
Urgensi Reformasi Sistem
Untuk menghadapi dua tantangan besar ini, diperlukan reformasi menyeluruh dalam pelaksanaan program MBG. Pertama, pemerintah perlu memberi prioritas pada perluasan ke daerah yang paling membutuhkannya, bukan yang paling mudah dijangkau.
Ini membutuhkan investasi dalam infrastruktur, logistik khusus, dan pendekatan yang sesuai dengan kondisi lokal. Harus disadari bahwa ketergantungan sepenuhnya pada APBN membuat program MBG sangat rentan terhadap perubahan dalam kebijakan anggaran. (Virlana & Tjoneng, 2025).
Dengan demikian, diversifikasi sumber pendanaan yang bersifat transparan dan akuntabel sangat mendesak untuk dilakukan.
Kedua, pengawasan sistem harus diperkuat secara signifikan. Penggunaan teknologi digital seperti blockchain dan sistem pelaporan waktu nyata harus dilakukan untuk menjamin transparansi yang menyeluruh dari awal hingga akhir. Setiap transaksi, semua pembelian bahan baku, dan setiap porsi yang disajikan perlu dicatat dan bisa diakses oleh publik.
Ketiga, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan harus ditingkatkan. Komite sekolah, orang tua, dan organisasi masyarakat sipil harus diberdayakan sebagai pihak yang terdepan dalam memastikan program ini terlaksana sesuai dengan tujuannya. Mekanisme pengaduan yang sederhana dan perlindungan bagi whistleblower harus dijamin.
Pertaruhan Masa Depan
Program MBG merupakan inisiatif strategis yang berhubungan dengan masa depan anak-anak di Indonesia. Jika program ini gagal, itu berarti pemborosan anggaran negara, sekaligus mengakibatkan jutaan anak kehilangan kesempatan untuk tumbuh dengan sehat dan cerdas.
Stunting dan malnutrisi yang tidak tertangani saat ini akan menjadi beban bagi pembangunan di masa depan. Oleh karena itu, pemerintah harus bertindak dengan cepat dan tegas. Korupsi harus dihapuskan tanpa kecuali.
Pemerataan akses juga harus menjadi prioritas utama. Dan yang paling penting, program ini harus kembali fokus pada esensinya: memberikan hak kepada anak-anak Indonesia untuk tumbuh sehat, di mana pun mereka berada.
Jika tidak, MBG hanya akan menjadi program yang dipenuhi janji di atas kertas, tetapi tanpa makna di dalam praktiknya. Dan anak-anak Indonesia—terutama yang paling rentan—akan kembali menjadi korban dari sistem yang tidak adil dan sarat dengan korupsi. (Red)
*) Gita Silvia Ramadhani, Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNTAG Surabaya
 
 