
Oleh: Muklis Al’anam*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Hukum seharusnya bukan alat pemaksa, apalagi sekadar simbol kekuasaan. Ia lahir dari kebutuhan manusia akan keadilan, bukan dari keinginan segelintir pihak untuk mengatur yang lain.
Karena itu, bicara tentang hukum sejatinya adalah bicara tentang hubungan sosial yang adil dan beradab.
Kita sering mendengar ungkapan, “hukum adalah panglima.” Tapi, hukum tanpa moral hanyalah kekuatan tanpa arah. Ia mungkin bisa memaksa, tapi tak lagi punya makna. Di sinilah letak persoalannya — ketika hukum kehilangan nurani.
Antara Moral dan Hukum
Moral dan hukum sebenarnya dua sisi dari koin yang sama. Moral berbicara tentang apa yang baik dan buruk, sedangkan hukum memastikan nilai-nilai itu dijaga dan ditegakkan. Namun, keduanya kerap berjalan di jalur berbeda.
Dalam pandangan saya, moral seharusnya menjadi dasar terbentuknya hukum. Ketika hukum dibuat tanpa mempertimbangkan nilai moral, ia berubah menjadi sekadar teks yang kaku — jauh dari rasa keadilan yang seharusnya ia perjuangkan.
Profesor Lon L. Fuller, ahli hukum dari Harvard, menolak pandangan bahwa hukum dan moral bisa dipisahkan. Baginya, hukum tanpa moral bukanlah hukum yang sejati. Ia bahkan menyebut ada delapan tanda yang bisa membuat sebuah sistem hukum “gagal total.”
Delapan Ciri Kegagalan Hukum
Fuller menjelaskan, hukum akan kehilangan legitimasinya jika jatuh ke dalam salah satu dari delapan kegagalan berikut:
Ketika satu saja dari delapan hal itu terjadi, sistem hukum mulai goyah. Tapi jika semuanya gagal sekaligus, maka yang tersisa bukan lagi sistem hukum — melainkan kekacauan yang dibungkus legalitas.
Hukum Tanpa Jiwa
Bayangkan jika warga diminta taat pada aturan yang tidak jelas, atau bahkan dirahasiakan dari mereka. Atau ketika hukum tiba-tiba berubah setelah seseorang bertindak.
Dalam situasi seperti itu, kepatuhan menjadi sia-sia — seperti memberikan suara yang tak pernah dihitung.
Hukum seharusnya menjadi kontrak moral antara negara dan warga negara: pemerintah wajib menegakkan aturan secara adil, dan warga berkewajiban menaati hukum yang benar. Tapi kontrak itu hanya hidup jika kedua pihak menjaganya dengan hati nurani.
Menjaga Moralitas Hukum
Kita tidak bisa bicara hukum tanpa bicara moral. Negara yang ingin adil harus memastikan bahwa setiap kebijakan dan peraturan mencerminkan nilai kemanusiaan. Karena hukum tanpa moral hanyalah teks kosong — dan keadilan tanpa hukum hanyalah mimpi.
Fuller mengingatkan kita bahwa hukum adalah hasil interaksi dua arah antara pemerintah dan rakyat. Ia bukan perintah sepihak dari penguasa, melainkan kesepakatan moral untuk hidup bersama secara adil.
Ketika hukum kehilangan arah moralnya, di situlah awal dari kegagalannya. Dan saat itu terjadi, bukan hanya hukum yang runtuh — tetapi juga kepercayaan rakyat terhadap keadilan itu sendiri. (Red)
*) Muklis Al’anam, Dosen Hukum Universitas Negeri Surabaya
Terimakasih bapak ibu
On bang