
Oleh: Adjie Shaofani Elsayyid*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Ada mesin, tersedia pula bahan bakarnya. Namun, mesin itu mogok di tengah jalan, ditinggal pengemudinya. Begitulah kiranya potret Karang Taruna Desa Rumbuk, Kecamatan Sakra, Lombok Timur.
Di sebuah desa yang disebut-sebut kaya akan potensi kaum mudanya, lembaga resmi kepemudaan ini justru berada dalam kondisi mati suri. Sebuah ironi yang tak hanya patut disesali, tetapi juga wajib untuk dibedah.
Kisah klasiknya adalah soal kepemimpinan. Seorang ketua yang mengundurkan diri dan kepengurusan yang senyap. Ini bukan sekedar persoalan personal, melainkan masalah dari rapuhnya fondasi kelembagaan.
Pengunduran diri seorang nakhoda di tengah pelayaran menandakan ada badai di dalam kapal, entah itu konflik internal yang tak terurai, tekanan eksternal yang tak tertanggulangi, atau sekedar ketidakcakapan dalam memegang kemudi.
Melihat dari fakta yang ada, terkuaknya dugaan bahwa ketua sebelumnya melanggar batas usia maksimal yang diatur dalam Peraturan Menteri Sosial adalah sebuah cacat bawaan.
Aturan bukanlah sekadar teks mati di atas kertas; ini adalah roh yang menjaga agar regenarasi berjalan sehat dan kepemimpinan tetap berada di tangan generasi yang relevan.
Ketika aturan sengaja atau tidak sengaja diterabas sejak awal, legitimasi kepemimpinan itu sendiri sudah goyah.
Proses kaderisasi yang seharusnya cair dan dinamis menjadi tersumbat, melahirkan pemimpin yang mungkin tak lagi mempresentasikan denyut nadi kaum muda yang semestinya ia wakili.
Paradoks paling masuk akal dalam persoalan ini adalah soal anggaran. Negara, melalui regulasinya, telah menyedikan “oli” agar mesin sosial ini terus bergerak.
Dana yang secara khusus dialokasikan untuk Karang Taruna semestinya menjadi bahan bakar untuk kreativitas, program pemberdayaan, dan kegiatan positif lainnya.
Namun di Rumbuk, anggaran itu terancam menjadi dana siluman (ada secara administratif tetapi menguap tanpa jejak manfaat). Ini menunjukkan masalahnya bukanlah ketiadaan sumber daya, melainkan krisis manajerial dan mungkin boleh jadi integritas.
Dana tanpa program yang visioner dan pengelola yang kompeten hanyalah angka-angka bisu dalam laporan pertanggungjawaban.
Pada akhirnya, korban utama dari kelumpuhan ini adalah para pemuda Desa Rumbuk itu sendiri. Potensi besar yang mereka miliki (energi, gagasan dan semangat) tak menemukan muaranya.
Ruang inkubasi kepemimpinan dan kreativitas yang seharusnya disediakan oleh Karang Taruna kini hampa. Energi besar yang tak tersalurkan secara positif berisiko tumpah ke aktivitas yang kontra-produktif, bahkan destruktif. Ini adalah kerugia sosial yang ongkosnya akan dibayar mahal di masa depan.
Membangkitkan kembali Karang Taruna Rumbuk dari mati surinya menuntut lebih dari sekedar rapat pembentukan pengurus baru. Persoalan ini memerlukan intervensi serius Pemerintah Desa sebagai fasilitator, bukan sekedar penonton.
Perlu ada kesadaran kolektif dari tokoh masyarakat dan para pemuda itu sendiri untuk menuntut tata kelola organisasi yang transparan dan akuntabel.
Karang Taruna Desa Rumbuk hari ini dapat memilih, memilih untuk tetap menjadi arang sisa-sisa kejayaan, atau menyalakan kembali baranya menjadi api yang menerangi masa depan pemuda desa. Pilihan ada di tangan mereka. (Red)
*) Adjie Shaofani Elsayyid, pemuda Desa Rumbuk, penstudi Ilmu dan Teknologi Pangan, Universitas Mataram