Sejarah Dualisme PPP: Dari Reformasi Sampai Sekarang

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Buat yang ngikutin politik pasca-Reformasi, drama internal PPP itu udah kayak sinetron panjang. Sejak 2000-an, partai berlambang Ka’bah ini sering banget pecah jadi dua kubu.

  • 2014–2016: PPP kehebohan besar waktu kubu Suryadharma Ali berseteru dengan elite lain yang nggak sepakat sama keputusan politiknya. Hasilnya? Muncul dua klaim ketua umum, muktamar tandingan, sampai rame-rame gugat ke PTUN.
  • Polanya berulang: setiap ada konflik, biasanya muncul dua hal — muktamar tandingan plus rebutan legalitas di Kemenkumham. Nanti berlanjut ke PTUN, kadang sampai MA. Intinya, siapa yang diakui negara, dialah yang dianggap “sah”.
  • Efek domino: kader di daerah bingung, mesin partai jadi macet, dan suara PPP di pemilu pun cenderung jeblok.

Beberapa riset bahkan nunjukkin konflik internal ini jadi faktor utama PPP susah banget konsolidasi dan bersaing dengan partai Islam lain. Singkatnya, dualisme PPP bukan hal baru. Itu kayak pola lama yang terus terulang.

Kasus Muktamar X: Drama Lama Versi Terbaru

Dua calon ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) saling klaim sebagai ketua umum terpilih meski baru masuk hari pertama Muktamar X, Sabtu (27/9) di Ancol, Jakarta Utara. Mereka adalah Muhammad Mardiono dan Agus Suparmanto.

Awalnya, pimpinan sidang Amir Uskara mengumumkan Mardiono sebagai ketua umum terpilih. Pasalnya, hanya dia satu-satunya calon yang hadir dengan dukungan 1.304 muktamirin pemilik hak suara.

Tapi nggak lama, kubu Agus juga teriak kemenangan, bahkan sampai gelar tasyakuran dan bentuk tim formatur.

Kalau ngikutin sejarah, besar kemungkinan drama ini akan lanjut ke tahap berikut:

Pendaftaran ke Kemenkumham — siapa yang lebih dulu dan lebih kuat bawa dokumen, biasanya lebih unggul.

Sengketa hukum di PTUN — kalau ada kubu yang nggak puas, siap-siap sidang panjang.

Efek ke daerah — kader di bawah sering bingung, “Saya harus loyal ke siapa, nih?”

Kalau nggak segera damai, bisa-bisa PPP masuk lagi ke siklus lama: dualisme berkepanjangan yang bikin partai makin lemah di pemilu.

Kenapa Ini Penting Buat Publik?

Mungkin ada yang mikir, “Ah, ribut internal partai, buat apa dipikirin?” Tapi jangan salah. Konflik PPP ini punya efek ke banyak hal:

  1. Konsolidasi politik Islam: PPP sebenarnya punya basis kuat dari kalangan tradisional Islam. Tapi kalau terus pecah, suara itu bisa lari ke partai lain.
  2. Kesehatan demokrasi: partai yang nggak solid bakal susah jalankan fungsi politiknya, dari rekrutmen kader sampai pendidikan politik.
  3. Elektabilitas: kalau partai terbelah, jangan heran kalau suaranya makin kecil di pemilu.

Penutup

Drama dualisme PPP kayaknya belum akan berhenti di Muktamar X ini. Dari era Suryadharma Ali sampai sekarang, pola konfliknya selalu sama: muktamar tandingan, klaim legitimasi, rebutan legalitas di Kemenkumham, dan ujung-ujungnya jadi tontonan publik.

Yang jelas, kalau konflik ini nggak segera selesai, PPP berpotensi makin ditinggal pemilih.

Padahal, partai ini punya sejarah panjang sebagai rumah politik umat Islam sejak zaman Orde Baru. Sayang banget kalau energi mereka terus habis hanya buat ribut di dalam rumah sendiri. (Red)

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like