
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Buat yang ngikutin politik pasca-Reformasi, drama internal PPP itu udah kayak sinetron panjang. Sejak 2000-an, partai berlambang Ka’bah ini sering banget pecah jadi dua kubu.
Beberapa riset bahkan nunjukkin konflik internal ini jadi faktor utama PPP susah banget konsolidasi dan bersaing dengan partai Islam lain. Singkatnya, dualisme PPP bukan hal baru. Itu kayak pola lama yang terus terulang.
Kasus Muktamar X: Drama Lama Versi Terbaru
Dua calon ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) saling klaim sebagai ketua umum terpilih meski baru masuk hari pertama Muktamar X, Sabtu (27/9) di Ancol, Jakarta Utara. Mereka adalah Muhammad Mardiono dan Agus Suparmanto.
Awalnya, pimpinan sidang Amir Uskara mengumumkan Mardiono sebagai ketua umum terpilih. Pasalnya, hanya dia satu-satunya calon yang hadir dengan dukungan 1.304 muktamirin pemilik hak suara.
Tapi nggak lama, kubu Agus juga teriak kemenangan, bahkan sampai gelar tasyakuran dan bentuk tim formatur.
Kalau ngikutin sejarah, besar kemungkinan drama ini akan lanjut ke tahap berikut:
Pendaftaran ke Kemenkumham — siapa yang lebih dulu dan lebih kuat bawa dokumen, biasanya lebih unggul.
Sengketa hukum di PTUN — kalau ada kubu yang nggak puas, siap-siap sidang panjang.
Efek ke daerah — kader di bawah sering bingung, “Saya harus loyal ke siapa, nih?”
Kalau nggak segera damai, bisa-bisa PPP masuk lagi ke siklus lama: dualisme berkepanjangan yang bikin partai makin lemah di pemilu.
Kenapa Ini Penting Buat Publik?
Mungkin ada yang mikir, “Ah, ribut internal partai, buat apa dipikirin?” Tapi jangan salah. Konflik PPP ini punya efek ke banyak hal:
Penutup
Drama dualisme PPP kayaknya belum akan berhenti di Muktamar X ini. Dari era Suryadharma Ali sampai sekarang, pola konfliknya selalu sama: muktamar tandingan, klaim legitimasi, rebutan legalitas di Kemenkumham, dan ujung-ujungnya jadi tontonan publik.
Yang jelas, kalau konflik ini nggak segera selesai, PPP berpotensi makin ditinggal pemilih.
Padahal, partai ini punya sejarah panjang sebagai rumah politik umat Islam sejak zaman Orde Baru. Sayang banget kalau energi mereka terus habis hanya buat ribut di dalam rumah sendiri. (Red)