
SUARAMUDA.NET, PURWOREJO — Ironi banget. Saat Hari Tani Nasional jatuh pada 24 September lalu, bukannya bersyukur dengan hasil panen, ratusan petani di Kecamatan Bayan, Purworejo, malah cuma bisa mengelus dada.
Bayangin aja, saluran irigasi yang harusnya jadi “urat nadi” pertanian di enam desa—Sambeng, Jrakah, Bringin, Bayan, Kragilan Pucangagung, dan Pekutan—sudah 15 tahun lebih nggak ngalirin air. Sawah yang mestinya hijau subur, akhirnya banyak yang terbengkalai.
Petani pun jadi serba salah. Mau ngolah sawah, modalnya bengkak karena harus bikin sumur bor yang biayanya selangit. Mau dibiarkan kosong, rasanya nyesek karena tanah nggak menghasilkan apa-apa.
“Kalau di sini sudah 15 tahun, bahkan ada yang sampai 20 tahun nggak ngalir,” curhat Eko Sulistyo, salah satu petani, saat aksi protes di lokasi irigasi, Kamis (25/9/2025).
Aksi protes itu sendiri lumayan heboh. Koalisi Masyarakat Sipil bareng mahasiswa Purworejo ikut turun tangan.
Mereka ngegelar spanduk dan mural penuh sindiran, kayak tulisan: “15 Tahun Ora Mili Cuk”, “Ora Butuh Janji, Butuh Banyu Mili”, sampai “Saluran Ada, Air Mana?”.
Eko Marsandi, petani lainnya, bilang kalau akhirnya banyak warga beralih ke sumur untuk irigasi, tapi biayanya bisa sampai tiga kali lipat. “Ya jelas berat, mas,” katanya.
Warga Desa Sambeng pun berharap pemerintah nggak lagi tutup mata. “Kami butuh solusi, bukan janji. Air itu nyawa buat petani,” tegas seorang warga. (Red)