Mahasiswa dan Tanggung Jawab Moral: Masihkah Layak Disebut Agent of Change?

Ferdi Fernando Putra, mahasiswa Politeknik Negeri Banyuwangi/ dok istimewa

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Mahasiswa sejak dulu selalu dijuluki agent of change, motor penggerak perubahan bangsa. Tapi di era digital yang serba instan, masih layak gak sih predikat itu nempel pada diri mahasiswa?

Banyak yang bilang, sekarang mahasiswa makin apatis. Diskusi kampus sepi, organisasi kehilangan daya tarik, isu kebangsaan juga kalah sama personal branding.

Kata Chomsky, kampus malah jadi pabrik pekerja, bukan lagi lahirkan intelektual kritis.

Padahal, Antonio Gramsci udah wanti-wanti: intelektual, termasuk mahasiswa, gak boleh netral. Mereka harus nyatu sama rakyat, berani bersuara, dan jaga nurani publik. Kalau enggak, ya cuma jadi elit kampus yang terasing.

Menyoroti hal itu, Ferdi Fernando Putra, mahasiswa Politeknik Negeri Banyuwangi, masih yakin mahasiswa pantas disebut agent of change.

“Kuncinya jangan terjebak pada budaya instan. Medsos harus jadi senjata gerakan, bukan bikin kita males,” tegasnya.

Ferdi juga ingetin, mahasiswa daerah jangan minder. Perubahan sosial gak harus lahir dari ibu kota. Dari kampus kecil pun bisa jadi api besar.

Singkatnya, agent of change itu bukan slogan. Kalau mahasiswa berani turun tangan, maka gelar itu masih relevan. Kalau cuma diam, ya tinggal sejarah aja yang bicara. (Red)

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like