Dana Reses DPR: Wadah Aspirasi atau Sekadar Angka Triliunan?

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Salah satu elemen penting dari kinerja anggota DPR adalah penggunaan dana reses. Inilah “tiket resmi” bagi para wakil rakyat untuk turun langsung ke daerah pemilihan, mendengar suara warga, sekaligus menindaklanjutinya dalam kebijakan.

Namun, seberapa jauh praktiknya sudah berjalan sesuai harapan?

Apa Itu Reses?

Mengacu pada Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, masa reses merupakan periode ketika DPR tidak bersidang.

Di saat inilah para anggota melakukan kunjungan kerja ke daerah masing-masing untuk menyerap aspirasi, menerima aduan, hingga merumuskan solusi.

Hal ini juga ditegaskan dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang menyebut reses sebagai bagian dari kewajiban DPR dalam menjalankan fungsi representasi rakyat. Jadi, bukan sekadar formalitas, melainkan amanat undang-undang.

Bentuk dan Pola Kunjungan

Kegiatan reses DPR terbagi dalam tiga jenis kunjungan kerja:

  • Kunjungan ke daerah pemilihan saat reses – dilakukan 4–5 kali dalam setahun persidangan.
  • Kunjungan ke daerah pemilihan saat reses atau sidang – biasanya hanya sekali dalam setahun.
  • Kunjungan ke daerah pemilihan di luar reses dan sidang – bisa mencapai 8 kali dalam setahun.

Durasi reses sendiri bervariasi, mulai dari lima hingga 30 hari, sementara kunjungan di luar masa reses biasanya maksimal tiga hari.

Anggaran Jumbo untuk Reses

Tak bisa dipungkiri, kegiatan reses membutuhkan dana besar. Mengacu pada DIPA DPR periode 2025, alokasi anggaran untuk kunjungan kerja DPR adalah sebagai berikut:

  • Kunjungan kerja saat reses (4–5 kali setahun): Rp1,37 triliun
  • Kunjungan kerja saat reses/sidang (1 kali setahun): Rp140,5 miliar
  • Kunjungan kerja di luar reses/sidang (8 kali setahun): Rp868,4 miliar

Jika dijumlah, totalnya menembus triliunan rupiah setiap tahunnya. Meski angka ini tidak banyak berubah sejak 2022 hingga 2026, tetap saja muncul pertanyaan: apakah sebanding dengan dampaknya bagi masyarakat?

Dari Mana Angka Itu Berasal?

Proses penyusunan anggaran reses tidak sembarangan. Setiap anggota DPR wajib menyusun rencana kegiatan kunjungan kerja, lalu mengajukan anggarannya ke fraksi.

Dari situ, proposal diteruskan ke Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR untuk diproses lebih lanjut.

Sementara itu, alokasi final dalam APBN ditentukan melalui pembahasan antara DPR dan Kementerian Keuangan. Jadi, setiap rupiah yang dikeluarkan sebenarnya sudah melalui mekanisme resmi, meski publik tetap bisa mempertanyakan efektivitas penggunaannya.

Antara Harapan dan Realita

Pada akhirnya, reses DPR adalah ruang penting bagi rakyat untuk “didengar” oleh para wakilnya. Sayangnya, publik masih sering meragukan sejauh mana aspirasi benar-benar ditindaklanjuti setelah kunjungan berakhir.

Harapannya, dana jumbo yang digelontorkan tidak sekadar habis di perjalanan dan acara seremonial, tapi benar-benar kembali dalam bentuk kebijakan nyata yang menyentuh kehidupan masyarakat. Kalau tidak, reses hanya akan jadi agenda rutin yang mahal, namun minim manfaat.

Suara Rakyat vs Laporan Kertas

Pertanyaan besarnya: apakah dana triliunan itu benar-benar bertransformasi jadi suara rakyat di gedung parlemen, atau justru tenggelam di tumpukan laporan kegiatan?

Pada titik ini, publik berhak menagih, karena demokrasi bukan hanya soal “didengar,” tapi juga soal “diwujudkan.” (Red)

Sumber: BBC News

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like