
Oleh: Mohammad Adzannie Bessania*)
SUARAMUDA.NET, KAZAN, RUSIA — Musim panas di Rusia selalu membawa cerita berbeda bagi setiap orang. Ketika jalanan Kazan dipenuhi cahaya matahari yang tak kunjung padam hingga larut malam, sebagian besar mahasiswa memilih untuk pulang ke kampung halaman, menikmati waktu bersama keluarga, atau bekerja sambilan.
Namun, saya justru mengambil pilihan yang lain: tetap tinggal di kota yang menjadi rumah kedua saya selama menempuh studi magister Biologi di Kazan Federal University (KFU).
Keputusan itu ternyata menghadirkan sebuah pengalaman berharga: mengikuti Summer University 2025, sebuah program internasional yang berlangsung pada 21 Juli – 3 Agustus 2025.
Praktis selama dua minggu, saya tidak hanya bergelut dengan buku dan laboratorium, tetapi juga menjelajahi ruang-ruang baru—baik dalam ilmu pengetahuan, sejarah, maupun pertemuan lintas budaya.
Sebagai seorang mahasiswa asal Aceh, rasa rindu tanah kelahiran selalu hadir di sela-sela kesibukan. Musim panas seakan mempertebal kerinduan itu, karena di tanah air saat ini keluarga saya sedang menikmati libur panjang. Tetapi di Kazan, saya justru menemukan makna lain dari musim panas.
Awalnya, saya harus melanjutkan praktik laboratorium sebagai bagian dari riset tesis. Namun, kabar mengenai adanya program Summer University dari pemerintah Rusia membuat saya tergoda untuk mencoba.
Saya mendaftar dan beruntung memperoleh beasiswa penuh. Program ini terbuka untuk mahasiswa seluruh dunia dengan berbagai trek akademik. Saya memilih trek “Evolusi Kehidupan: Dari Adaptasi hingga Kelangsungan Hidup”, sesuai dengan bidang mikrobiologi yang sedang saya tekuni.
Di trek ini, saya mempelajari tujuh topik menarik: keanekaragaman hayati, resistensi antibiotik, biologi stres, fenomena rasa sakit, kecerdasan buatan dalam botani, hingga kelas master pertolongan pertama. Bagi saya, ini adalah peluang emas untuk memperluas wawasan sekaligus menghubungkan ilmu yang saya pelajari dengan konteks global.
Kebahagiaan lain muncul ketika mengetahui ada lima mahasiswa Indonesia lain yang turut serta. Empat di antaranya berasal dari Universitas Padjadjaran—Veadora, Iin, Vivian, dan Giyats—dan satu dari Binus, Kezia.
Kami semua memilih trek yang berbeda-beda. Ada yang menekuni arsitektur, ada pula yang mendalami analisis data digital. Justru perbedaan ini membuat pertemuan kami semakin kaya.
Setiap malam, kami sering duduk bersama, saling berbagi cerita tentang pengalaman kelas masing-masing. Obrolan sederhana di kantin kampus atau di taman Kazan sering berujung menjadi diskusi panjang mengenai masa depan Indonesia, peluang kolaborasi, dan mimpi kami setelah lulus.
Rasa rindu pada tanah air sedikit terobati karena keberadaan mereka. Dalam kebersamaan itu, saya menyadari betapa pentingnya solidaritas mahasiswa Indonesia di luar negeri, sebuah jejaring kecil yang bisa menjadi benih kontribusi besar di masa depan.
Hari-hari pertama program dipenuhi dengan kunjungan ilmiah. Salah satu pengalaman yang paling membekas adalah kunjungan ke Teater Anatomi KFU, bangunan bersejarah dari tahun 1837. Di pintu masuknya tertera moto Latin: Hic locus est, ubi mors gaudet succurrere vitae—“Di sinilah kematian senang membantu kehidupan.”
Kata-kata itu seketika meresap ke dalam diri saya. Di dalam ruangan, ratusan preparat tubuh manusia ditata dengan rapi: tulang, otot, organ vital.
Saya bahkan mendapat kesempatan memegang spesimen jantung yang diawetkan dengan teknik polimer modern—kering, elastis, tanpa bau formalin. Sebuah pengalaman ilmiah yang menggugah kesadaran saya tentang rapuhnya tubuh manusia sekaligus keajaiban ilmu pengetahuan dalam mengabadikannya.
Perjalanan berikutnya membawa saya ke Museum Zoologi E.A. Eversmann, semacam mesin waktu yang menyimpan ribuan spesimen hewan dari seluruh dunia. Saya terpukau ketika melihat zebra quagga—subspesies zebra yang telah punah pada abad ke-19.
Spesimennya di dunia ini hanya tersisa sembilan, dan salah satunya ada di Kazan. Selain itu, koleksi kupu-kupu tropis, ikan endemik Danau Baikal, hingga fosil hidup tuatara dari Selandia Baru membuat saya merasa seperti sedang melintasi dimensi waktu kehidupan.
Tak jauh dari Teater Anatomi, terdapat Pusat Simulasi IFMIB—semacam rumah sakit virtual. Di sini, kami berlatih pertolongan pertama hingga operasi kompleks dengan menggunakan manekin canggih, robot pasien, dan teknologi VR.
Saya masih ingat bagaimana jantung saya berdegup kencang saat harus melakukan kompresi dada pada manekin yang memberikan umpan balik real-time. Suasana dibuat seolah-olah nyata: suara sirine, kepanikan, bahkan simulasi kecelakaan.
Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa menjadi ilmuwan atau tenaga medis bukan sekadar menguasai teknik, tetapi juga memiliki ketenangan mental dalam menghadapi situasi darurat.
Summer University bukan hanya tentang kunjungan, tetapi juga tentang dialog. Kami berkesempatan mengikuti kuliah dari profesor-profesor ternama.
Salah satunya adalah Prof. Airat Kayumov, pakar resistensi antibiotik. Ia menjelaskan tentang terapi fag—virus yang bisa menyerang bakteri—sebagai solusi menghadapi superbug yang kebal antibiotik.
Penjelasannya membuka cakrawala saya, bahwa solusi masa depan bisa jadi tidak lagi bergantung pada obat kimia, melainkan pada virus yang secara alami ada di bumi.
Saya juga terkesan dengan kuliah Dr. Onele Obinna, yang membahas biologi stres. Ia menjelaskan bagaimana hormon adrenalin dan radikal bebas memicu stres oksidatif dalam tubuh.
Di laboratorium biokimia, kami bahkan melihat langsung “warna” adrenalin melalui reaksi kimia yang berubah menjadi larutan merah muda.
Momen-momen itu mengingatkan saya bahwa ilmu pengetahuan bukanlah hal abstrak, melainkan sesuatu yang bisa disentuh, dilihat, dan dirasakan.
Salah satu kunjungan paling inspiratif adalah ke Pusat Farmasi KFU. Di sana saya menyaksikan bagaimana sebuah molekul kecil bisa melalui perjalanan panjang sebelum akhirnya menjadi obat yang layak digunakan manusia.
Dari proses sintesis kimia, uji seluler, penelitian praklinis pada hewan, hingga uji klinis pada manusia—semua tahapan menuntut ketelitian luar biasa. Saya terkesima mengetahui bahwa para peneliti KFU berhasil menciptakan obat antiinflamasi bernama KFU-01 yang bahkan meraih medali emas di Geneva.
Saya membayangkan, bagaimana jika suatu saat ilmuwan Indonesia juga bisa melahirkan penemuan kelas dunia yang memberi manfaat nyata bagi umat manusia?
Selain sains, program ini juga memberi ruang bagi kami untuk menyelami sejarah. Di Museum Sejarah KFU, saya berjalan di bekas ruang kuliah Lenin muda sebelum ia diusir karena protes. Sejarah itu terasa begitu dekat, seolah saya bisa merasakan detak langkah seorang pemuda yang kelak mengubah arah Rusia.
Kunjungan lain membawa saya ke Museum Lobachevsky, rumah sang bapak geometri non-Euklides. Rasanya luar biasa menyadari bahwa teori yang mengubah dasar kosmologi modern pernah lahir di ruang sederhana di Kazan.
Bagi saya, pengalaman ini menunjukkan bahwa kampus bukan hanya tempat belajar, melainkan juga ruang di mana sejarah dan ide-ide besar tercipta.
Akhir pekan, kami diajak keluar dari Kazan menuju Distrik Sabinsky. Di Museum Kehutanan Sabinsky, saya belajar kisah para penjaga hutan yang mengabdikan hidupnya untuk menjaga keseimbangan alam.
Di Taman Dendrologi Minnikhanov, saya melihat ratusan jenis pohon langka. Bahkan, koleksi tropis seperti pisang dan pepaya bisa tumbuh subur di rumah kaca, membuat saya seolah kembali ke tanah air. Ada juga sudut dongeng dengan patung karakter magis Tatarstan, yang menghadirkan nuansa hangat sekaligus imajinatif.
Pengalaman ini memberi saya pelajaran bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya bersemayam di laboratorium, tetapi juga hidup di tengah hutan, taman, dan kebudayaan masyarakat lokal.
Dua minggu berlalu begitu cepat. Selain kuliah, laboratorium, dan kunjungan budaya, momen yang paling saya hargai justru saat bercengkerama di kantin dengan teman-teman dari berbagai negara. Dari Rusia hingga Afrika, dari Eropa hingga Asia, kami berbagi cerita, tawa, dan impian.
Saya belajar bahwa sains tidak pernah berdiri sendiri—ia tumbuh dari interaksi, budaya, dan persahabatan. Di sela obrolan santai, saya menemukan inspirasi baru tentang pentingnya dialog antarbangsa.
Ketika program berakhir, saya pulang dengan hati penuh syukur. Rindu pada Aceh memang masih ada, tetapi saya membawa pulang sesuatu yang lebih besar: bukan hanya pengetahuan ilmiah, melainkan juga keberanian untuk berdialog dengan dunia.
Summer University 2025 di Kazan bukan sekadar kelas musim panas. Ia adalah sebuah perjalanan hidup: dari anatomi hingga simulasi, dari mikroba hingga hutan tropis, dari Lenin hingga Lobachevsky.
Pengalaman ini membuat saya semakin percaya pada semboyan di Teater Anatomi: bahkan kematian sekalipun, dalam sains dan dalam pengalaman hidup, bisa membantu kehidupan.
Dan pada akhirnya, saya menyadari: musim panas di Rusia bukan sekadar tentang cuaca yang hangat, tetapi tentang konvergensi pengetahuan dan pertukaran budaya—sebuah bekal yang akan terus saya bawa, ke mana pun langkah saya pergi. (Red)
*) Mohammad Adzannie Bessania, Master Student of Biology, Deparment Microbiology, Faculty of Biology, Institute of Fundamental Medicine and Biology, Kazan Federal University, Kazan, Russia Federation