
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Tak mudah menjadi raja kecil yang pongah dan arogan. Dunia kini telah modern, berbeda jauh dari 20 atau 30 tahun lalu, ketika masyarakat hanya sendiko dawuh—patuh dan tunduk pada sang raja: Bupati.
Di era teknologi informasi yang berlari kencang, kabar bisa viral hanya dalam hitungan detik. Fakta ini berlaku dari ujung Sabang hingga Merauke, tanpa batas ruang dan waktu. Akses informasi yang terbuka membuat masyarakat semakin cerdas, kritis, dan tak selalu nurut.
Rakyat Lapar, Rakyat Bersatu
Mereka yang “lapar” akhirnya bersatu, menyatukan persepsi, lalu tancap gas. Demonstrasi pun membara. Semua bermula dari sikap dan arogansi sang raja kecil yang berbicara dengan nada menantang, di tengah iklim ekonomi yang tak jelas. Rakyat yang tertekan akhirnya turun ke jalan.
Pada 13 Agustus, sejarah mencatat: lebih dari 50.000 massa tumpah ruah memenuhi alun-alun Pati. Kantor bupati digeruduk, dan kantor DPRD tak luput menjadi sasaran. Massa bahkan berhasil merangsek masuk ke gedung yang katanya mewakili rakyat itu.
Di tengah panas terik, ibu-ibu rela membungkus snack dan makanan untuk para pengunjuk rasa. Sementara kaum papa berdiri lantang di barisan depan, meneriakkan satu tuntutan: “Raja kecil, turun!”
Kebijakan pajak naik hingga 250% dan wacana sekolah lima hari memang sudah dibatalkan. Tapi rakyat yang marah tak kenal kompromi. Mereka bukan segelintir orang—ini adalah ribuan manusia yang menuntut keadilan. Mereka susah dikendalikan.
Dari Bumi Pragola ke Ruang Media Sosial
Keberanian rakyat Pati menggema. Mereka bersuara menolak kedzaliman, dan sebagian masyarakat dari daerah lain ikut hadir atau memberi simpati.
Media sosial penuh dengan feed dan video reels aksi di “Bumi Pragola”. Anak-anak hingga orang dewasa bebas menonton drama politik raja kecil dari kota kecil bernama Pati.
Menjelang sore, media online serentak memberitakan: “DPRD Sepakati Proses Pemakzulan Bupati Pati”. Kabar itu menjadi headline yang melesat cepat.
Tak ada lagi alasan mempertahankan Sudewo di kursi bupati. Bahkan fraksi dari partainya sendiri, Gerindra, ikut menyetujui suara mayoritas DPRD. Nasib Sudewo kini benar-benar di ujung tanduk.
Jika benar 13 Agustus menjadi hari lengsernya Sudewo, maka peringatan Hari Jadi Pati beberapa waktu lalu adalah momen pertama sekaligus terakhir ia tampil sebagai raja kecil. Diarak keliling dengan kereta kencana, dengan sorakan rakyat: “huuuuuu“!
Dinamika di Pati adalah peringatan keras. Di tengah kondisi ekonomi sulit dan rakyat yang “lapar”, kebijakan tak bisa diambil semaunya. Jika nekat, maka nasibnya bisa seperti Sudewo—kehilangan wibawa, bahkan dilempar botol dan sandal jepit oleh rakyatnya sendiri, yang dulu mencoblosnya.
Fenomena ini pun bisa saja terjadi dalam skala nasional. Revolusi bisa saja bermula dari Pati—kota kecil di pojok Pantura Jawa yang konon adem-ayem, namun kini tercatat sebagai panggung perlawanan rakyat. Dan satu hal yang pasti: rakyat yang lapar tak pernah bisa dianggap sepele. (Red)