Ironi HUT RI Ke-80: Rakyat Mana yang Sejahtera di Tengah Kenaikan Pajak dan Gaji Pejabat?

Gussalim Maula, mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah Universitas Wahid Hasyim Semarang

Oleh: Gussalim Maula *)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Di tengah semarak persiapan menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80 pada 17 Agustus 2025, tema besar “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju” terdengar megah dan penuh harapan.

Namun, gaung tema tersebut terasa sumbang di telinga sebagian besar masyarakat yang justru tengah berhadapan dengan kenyataan pahit. Pertanyaan krusial pun menggema: rakyat mana yang sebenarnya dimaksud dalam slogan kesejahteraan itu?

Tema HUT RI tahun ini mengedepankan persatuan sebagai kunci kemajuan dan kesejahteraan. Pemerintah menegaskan bahwa kedaulatan bangsa harus diperkuat dengan pembangunan yang adil dan merata. Namun, serangkaian kebijakan yang diambil belakangan ini justru dinilai publik bertolak belakang dengan cita-cita tersebut.

Gelombang protes yang dipicu oleh kenaikan pajak secara drastis menjadi bukti nyata keresahan di tingkat akar rumput. Dimulai dari aksi massa besar-besaran di Kabupaten Pati pada 13 Agustus lalu yang menolak kenaikan pajak hingga 250%, gejolak serupa dengan cepat menyebar ke berbagai daerah lain dengan angka yang lebih fantastis.

Dalam pantauan penulis, Kabupaten Bone, misalnya, kenaikan pajak hingga 300 persen. Demikian pula dengan Kabupaten Semarang, yang diam-diam rupanya juga menaikkan pajak hingga 400 persen. Tragisnya, kenaikan pajak di Kota Cirebon dan Jombang bahkan mencapai 1000 persen.

Pemerintah berdalih bahwa kebijakan ini diambil demi meningkatkan pendapatan daerah untuk program kesejahteraan masyarakat. Namun, bagi warga yang terdampak, dalih tersebut terasa ironis. Bagaimana kami bisa sejahtera jika untuk membayar pajak saja kami harus berhutang? Ini bukan menyejahterakan, ini sangat mencekik.

Kontras yang menyakitkan terjadi di waktu yang bersamaan. Di tengah jeritan rakyat atas beban pajak, tersiar pula kabar bahwa gaji anggota DPR RI naik Rp3 juta. Alasannya, sebagai kompensasi.

Kabarnya, para legislator tidak lagi menerima fasilitas rumah dinas. Kebijakan ini sontak menuai kritik tajam, dianggap tidak peka terhadap kondisi ekonomi mayoritas warga yang masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.

Siapa Subjek, Siapa Objek?

Fenomena ini memaksa kita untuk menelaah kembali siapa yang menjadi subjek dan objek dalam tema besar kemerdekaan. Publik dan para pengamat menilai, dalam rentetan kebijakan ini, rakyat seolah hanya menjadi objek—sumber pendapatan negara melalui pajak yang tinggi dan target dari retorika pembangunan.

Rakyat diposisikan sebagai pihak yang harus berkorban demi cita-cita besar negara. Sementara itu, yang menikmati ‘kesejahteraan’ dan menjadi subjek dari kebijakan tersebut justru adalah segelintir elite dan pejabat negara.

Mereka adalah pihak yang merumuskan aturan, sekaligus menjadi penerima manfaat langsung dari peningkatan pendapatan, baik secara kelembagaan maupun personal.

Peringatan kemerdekaan ke-80 ini menjadi momen refleksi yang krusial. Disonansi antara narasi agung “Rakyat Sejahtera” dengan realitas kebijakan yang membebani telah menciptakan krisis kepercayaan.

Pertanyaan ‘rakyat mana yang sejahtera’ kini menggema lebih keras dari gempita perayaan itu sendiri, menjadi pengingat bahwa kemajuan sejati diukur dari kesejahteraan seluruh warganya, bukan hanya sebagian. (Red)

*) Gussalim Maula, mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah Universitas Wahid Hasyim Semarang

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like