Validitas dan Admisibilitas Bukti Elektronik: Forensik Digital Sebagai Mekanisme dalam Menangani Kejahatan Siber

Nayla Shaidina, Mahasiswa Ilmu Hukum Pidana, Fakultas Hukum,Universitas Andalas

Oleh: Nayla Shaidina*)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Era digital telah mengubah cara kita untuk berkomunikasi dan melakukan aktivitas sehari-hari, adanya kehadiran digital tersebut juga membuka pintu berkembangnya kejahatan digital yang dikenal dengan istilah cybercrime.

Cybercrime merupakan suatu pelanggaran hukum pidana yang menimpa beberapa kelompok, dimana kejahatan komputer atau cybercrime mengeksploitasi dunia maya yang kini menjadi ancaman serius.

Berkembangnya kejahatan digital harus diiringi dengan kemajuan teknologi, oleh karena itu, pengelolaan bukti digital diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2024 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memperjelas tentang pengaturan transaksi elektronik, pengakuan informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam konteks hukum.

UU ITE memberikan kepastian hukum terhadap alat bukti digital sebagai alat bukti. Alat bukti sendiri adalah alat pembuktian atau upaya pembuktian (Bewisjemiddle) yang dimana alat-alat yang dipergunakan untuk membuktikan dalil-dalil suatu pihak dimuka pengadilan. Misalnya, bukti-bukti tulisan, kesaksian, persangkaan, sumpah.

Salah satu alat bukti yang digunakan untuk pembuktian adalah forensik, istilah ilmu forensik mengacu pada proses penelitian ilmiah yang melibatkan pengumpulan, analisis, dan penyajian bukti-bukti yang berkaitan dengan proses hukum.

Analisis forensik adalah kegiatan penyidik yang mempunyai kewenangan untuk meminta penyelidikan ilmiah kepada ahli forensik, suatu langkah kunci dalam penyelesaian suatu kasus kejahatan komputer, dengan menggunakan keahlian ahli forensik digital.

Salah satu bidang forensik yang digunakan adalah forensik digital yaitu pembuktian yang melibatkan pencarian data investigasi yang ditemukan pada perangkat digital seperti komputer, ponsel, dan lainnya. Bukti digital dapat mencakup berbagai jenis informasi atau informasi yang disimpan pada perangkat elektronik.

Dalam perspektif hukum, forensik digital berperan penting dalam menghasilkan bukti elektronik yang valid dan dapat diterima di pengadilan.

Keterampilan forensik digital sangat penting untuk memastikan bahwa proses pemeriksaan dan pengumpulan bukti elektronik dilakukan secara akurat, sah, dan dapat diterima di pengadilan.

Dengan meningkatnya kejahatan digital, peran forensik digital dalam mengatasi tantangan keamanan di dunia maya menjadi semakin penting.

Digital forensik telah diatur secara eksplisit dalam pasal 5 UU ITE, namun pengaturan secara eksplisit ini menimbulkan simpang siur terkait dengan aturan forensik digital sehingga perlu pembaharuan atau aturan khusus forensik digital dalam UU ITE.

Kedudukan Hukum Forensik Digital Sebagai Pembuktian dalam Kejahatan Siber

Forensik digital adalah kegiatan ilmiah yang mengumpulkan dan menganalisis data dari berbagai sumber daya komputer atau perangkat digital lainnya, termasuk sistem komputer, jaringan komputer, tautan komunikasi fisik dan non-fisik.

Forensik digital berfungsi sebagai pembawa data yang dianggap pantas untuk diajukan ke pengadilan sebagai alat bukti untuk mendukung proses peradilan pidana.

Cybercrime merupakan kejahatan yang diatur dalam UU ITE seperti kejahatan pornografi, prostitusi online, penipuan, pencemaran nama baik, perdagangan manusia dan masih banyak lagi yang lainnya.

Pembuktian kejahatan siber yaitu berupa kesalahan terdakwa yang ditentukan oleh minimal dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim, mengingat kejahatan dunia maya sangat erat kaitannya dengan komputer atau sistem elektronik maka penting digunakan alat bukti digital tersebut.

Forensik digital merupakan barang pembuktian dalam bentuk digital, dimana dimulai dalam proses penyidikan, lalu dilanjutkan ke proses pembuktian forensik dari pelaku kejahatan siber, sehingga perannya menjadi sangat penting dan signifikan dalam proses pembuktian kejahatan siber.

Dalam UU ITE telah mengatur alat bukti elektronik atau digital sebagai alat bukti yang sah di pengadilan.

Dalam proses pidana digunakan Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai ketentuan perluasan dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE yaitu ketentuan pasal 184 ayat (1)  KUHAP tentang alat bukti yang sah yaitu mengatur  bahwa alat bukti yang sah adalah: 1) Keterangan saksi; 2)Pendapat ahli; 3)Surat; 4)Petunjuk; 5).Pernyataan terdakwa.

Dalam perluasan yang dimaksud UU ITE adalah (1) Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau cetakannya merupakan alat bukti yang sah.

(2) Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau cetakannya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan alat bukti yang sah menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia. (3) Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah apabila sistem elektronik digunakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.

Pasal 5 ayat (1) UU ITE menjelaskan tentang 1) Penambahan alat bukti yang diatur dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti elektronik melengkapi alat bukti yang diatur dalam KUHAP;  2)  memperluas cakupan alat bukti yang diatur dalam Hukum Pidana Indonesia, seperti Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (“KUHP”).

Pasal 5 ayat 2 UU ITE mengatur bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakan merupakan perpanjangan dari alat bukti sah menurut hukum acara di Indonesia.

Cetakan data atau dokumen elektronik merupakan bukti dokumenter yang diberikan oleh KUHAP. UU ITE menegaskan bahwa informasi dan dokumen elektronik serta hasil cetakannya dapat digunakan sebagai alat bukti hukum yang sah dalam seluruh hukum acara di Indonesia.

UU ITE menyatakan bahwa syarat formil dan materiil harus dipenuhi agar dapat melakukan pelaksanaan pembuktian dapat dilakukan secara sah, khususnya dalam konteks penegakan hukum.

Persyaratan formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu dokumen elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut undang-undang harus berbentuk tertulis. Selain itu, informasi dan/atau dokumen tersebut diperoleh secara sah.

Jika bukti dikumpulkan secara tidak sah, hakim mengecualikan bukti tersebut atau pengadilan memutuskan bahwa bukti tersebut tidak memiliki nilai pembuktian. Persyaratan materiil diatur dalam pasal 6, 15, dan 16 UU ITE yang pada dasarnya mengatur tentang data dan dokumen elektronik harus dapat dijamin keaslian, keutuhan, dan ketersediaannya.

Dalam banyak kasus, forensik digital diperlukan untuk memastikan kepatuhan terhadap persyaratan material ini. Dengan menggunakan bukti digital, hakim harus dapat menemukan fakta dan memperoleh setidaknya dua bukti untuk memastikan bahwa kejahatan benar-benar terjadi dan terdakwa bersalah.

  1. Pasal 5 ayat (1) UU ITE secara eksplisit mengatur tentang tata cara pembuktian alat bukti digital menjelaskan sebagai berikut: Saksi ahli diminta menjelaskan pengetahuannya mengenai perkara tersebut.
  2. Penyidik polisi kemudian dipaksa untuk menyalin data elektronik tersebut ke perangkat baru, setelah itu bukti digital tersebut diserahkan ke pengadilan.
  3. Saksi ahli kemudian menganalisis barang bukti digital sesuai kebijaksanaan hakim.

UU ITE pada pasal 5 ayat (1) menghubungkannya dengan Pasal 43 ayat (2) UU ITE yaitu dalam menangani pemrosesan barang bukti harus memperhatikan tata cara yang berlaku sesuai dengan pasal 43 ayat (2) UU ITE.

Dalam Pasal 1 ayat (1) menjelaskan informasi elektronik adalah suatu kesatuan informasi elektronik atau kumpulan daripadanya, termasuk namun tidak terbatas pada, audio tertulis, gambar, peta, rencana, foto, pertukaran data elektronik (EDI), surat elektronik (email), telegram, teleks, faksimili, dan sebagainya, huruf, karakter, angka, kode identifikasi, simbol atau perforasi , yang pengertiannya telah diolah atau dipahami oleh orang yang memahaminya, dan pada pasal 1 ayat (4) UU ITE juga menjelaskan tentang arsipan elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, dikirimkan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optik atau sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar oleh komputer atau sistem elektronik, termasuk namun tidak terbatas pada, huruf, suara, gambar, peta, denah, foto, dan sebagainya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang berarti atau bermakna atau mampu dipahami oleh manusia.

Digital forensik secara eksplisit juga disebutkan dalam  Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 7 Tahun 2016 tentang Administrasi Penyidikan dan Penindakan Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik Pada pasal 45 yang secara garis besar menjelaskan pembuktian dapat dilakukan dengan bantuan teknis melalui Laboratorium Forensik Sistem Elektronik dan identifikasi.

Di mana, penjelasan untuk pemeriksaan alat bukti dikoordinasikan terlebih dahulu dengan penyidik kepolisian.

Pasal 46 secara garis besar menjelaskan pemeriksaan barang bukti untuk menemukan bukti elektronik, dapat dilaksanakan melalui pengujian forensik Sistem Elektronik dengan beberapa prosedur seperti: a.identifikasi; b.akuisisi; c.pengujian dan analisa; d.dokumentasi dan pelaporan, pada Pasal 47 menjelaskan Identifikasi, akuisisi, pengujian dan analisa, serta dokumentasi dan pelaporan dilakukan oleh AFSE yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Terdapat juga pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara Dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu pasal 1 ayat 11  Investigasi balistik dan metalurgi forensik adalah teknis penyelidikan forensik terhadap tempat kejadian perkara dan pemeriksaan bukti laboratorium forensik yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi balistik dan metalurgi sebagai metode/alat utamanya.

Dan juga Pemeriksaan Bidang Fisik Forensik dalam barang bukti dijelaskan lebih rinci pada pasal 9 ayat 2 tentang jenis barang bukti yang dapat dilakukan pemeriksaan oleh Labfor Polri beserta penjelasan tentang Pemeriksaan Barang Bukti Perangkat Elektronik, Telekomunikasi, Komputer (Bukti Digital) dan penyebab proses elektrostatis pada pasal 17, pasal 18, pasal 19, pasal 20, pasal 21 dan pasal 22.

Alat bukti digunakan dalam suatu persidangan dengan mengolah dokumen atau alat bukti elektronik yang diubah oleh sistem elektronik atau komputer menjadi suatu hasil cetakan alat bukti digital yang dicetak di atas kertas, yaitu; diformat ulang dari format hard file dengan cara dicetak, kemudian dianalisis oleh ahlinya untuk disampaikan keasliannya di persidangan sehingga tidak dapat diubah atau dimanipulasi.

Dalam pengolahan barang bukti, informasi yang diperoleh berasal dari sumber asli, sehingga bentuk, isi, dan kualitas informasi digital dapat diproses.

Pada Pasal 43 ayat 2 UU ITE yang mengatur bahwa penelitian di bidang teknologi dan perdagangan elektronik harus didasarkan pada perlindungan privasi, kerahasiaan, kelancaran pelayanan publik, keutuhan dan/atau keutuhan data rekening sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Agar bukti digital dapat sah dan digunakan di pengadilan, bukti digital tersebut harus memenuhi persyaratan, sehingga ahli forensik digital dapat menyelidiki bagaimana memenuhi persyaratan bukti digital.

Pemenuhan persyaratan bukti digital dapat dicapai dengan mengumpulkan atau menyita informasi elektronik dari sistem informasi dalam bentuk aslinya, untuk kemudian diubah menjadi bukti digital yang dicetak di atas kertas. Forensik digital merupakan alat yang ampuh dalam penegakan hukum di era digital ini. (Red)

*) Nayla Shaidina adalah mahasiswa Ilmu Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Andalas

 

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like