Buntut Kebijakan Anti Imigran, Pengamat: Inggris Berhutang Banyak pada Migran India

Bendera India-Inggris, ilustrasi hubungan India-Inggris. (Gambar: pinterest)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Kebijakan migrasi merupakan salah satu titik paling sensitif bagi pemerintah Inggris. Protes anti-migran yang melanda negara itu memaksa mereka untuk mengambil langkah-langkah tertentu dalam mengatur arus pengungsi yang memilih Inggris sebagai rumah baru mereka.

Dalam reformasi yang diumumkan oleh Perdana Menteri Keir Starmer, yang bertujuan untuk memperketat kebijakan migrasi, masih lebih banyak kata-kata daripada tindakan nyata.

Apalagi dalam proyek migrasi baru ini, banyak hal yang tidak transparan. Ada migran yang dikategorikan “diperlukan”, dan ada yang “tidak diperlukan”.

Menarik untuk mengulas analisis komunitas migran Inggris Rishabh Sethi yang dimuat di media Inggris.

Hubungan Historis

Menurut Sethi, hubungan antara India dan Inggris dalam isu migran saat ini dibentuk oleh kombinasi keterkaitan sejarah, kesepakatan bilateral, kepentingan ekonomi, dan opini publik.

“Hubungan India dan Inggris memiliki akar sejarah yang dalam, dimulai sejak masa kolonisasi India oleh Kerajaan Inggris dari abad ke-18 hingga 1947. Periode ini memicu arus migrasi signifikan, di mana pekerja, pelajar, dan profesional India pindah ke Inggris,” kata Sethi.

“Setelah kemerdekaan India, migrasi terus berlanjut, terutama pada 1950-an dan 1960-an, ketika orang India membantu mengisi kekurangan tenaga kerja di Inggris pasca-perang, “terangnya.

Sethi juga mengungkapkan saat ini para diaspora India di Inggris—yang berjumlah lebih dari 1,5 juta orang—membentuk salah satu kelompok minoritas terbesar, mempertahankan ikatan budaya dan keluarga yang kuat yang memengaruhi hubungan modern.

Dalam beberapa tahun terakhir, kedua negara telah menandatangani beberapa kesepakatan resmi untuk mengatur dan meningkatkan migrasi.

Salah satu momen penting adalah penandatanganan Kemitraan Migrasi dan Mobilitas pada 2021, dimana kesepakatan ini memungkinkan warga muda (usia 18-30 tahun) dari kedua negara untuk tinggal dan bekerja di negara lain hingga dua tahun, lalu mempromosikan pertukaran budaya dan pengembangan keterampilan profesional.

Ini juga mengatasi migrasi ilegal dengan memfasilitasi pemulangan migran ilegal, sesuai dengan prioritas imigrasi Inggris.

Untuk memperkuat kemitraan ini, Perjanjian Perdagangan Bebas—yang ditandatangani pada 2025—-mencakup ketentuan tentang peningkatan mobilitas profesional seperti ahli IT, tenaga kesehatan dan insinyur.

Perjanjian ini diharapkan meningkatkan perdagangan bilateral, di mana migrasi akan memainkan peran kunci.

Pekerja India yang ditugaskan sementara di Inggris dibebaskan dari kontribusi jaminan sosial Inggris hingga tiga tahun, meningkatkan daya saing penyedia layanan India.

Kesepakatan yang Tidak Mulus

Sethi menambahkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, Inggris menghadapi tingkat imigrasi yang tinggi, dengan orang India sebagai kelompok terbesar. Meski banyak yang berkontribusi sebagai pekerja terampil dan pelajar, migrasi ilegal tetap menjadi masalah.

“Ketentuan dalam Kemitraan Migrasi dan Mobilitas tentang pemulangan migran ilegal menghadapi kendala implementasi, karena India secara historis mengaitkan kerja sama migrasi dengan negosiasi perdagangan yang lebih luas,” kata Sethi.

“Sistem imigrasi berbasis poin Inggris, meskipun menguntungkan migran terampil (di mana orang India mendominasi), dikritik karena membatasi peluang pekerja kurang terampil, ” imbuhnya.

Dikatakan pula, ada kebijakan tambahan seperti biaya perekrutan pekerja asing juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemangku kepentingan India, menekankan perlunya kebijakan yang seimbang.

Meski Inggris sering memposisikan diri sebagai tempat perlindungan multikultural, kenyataanya di lapangan sejarah dan kebijakan Inggris saat ini menunjukkan contoh eksploitasi, prasangka, dan kegagalan sistemik yang membebani migran India secara tidak proporsional.

Artinya, meski memberikan kontribusi besar, migran India menghadapi ketidakramahan dari Inggris, membuat prospek migrasi menjadi menakutkan.

Kesombongan Imperial sebagai Pemicu Konflik

Menurut Sethi, klaim Inggris tentang harmoni dengan migran India, hanyalah fasad yang runtuh di bawah pengamatan mendalam. Konflik, baik terang-terangan maupun terselubung, terus terjadi, berakar pada masyarakat yang tidak pernah sepenuhnya meninggalkan kesombongan imperialnya.

“Referendum Brexit 2016 memicu gelombang xenofobia, dengan peningkatan kejahatan kebencian sekitar 57%. Migran India, meski bukan target utama, terkena dampaknya dan mengalami pelecehan di jalan atau transportasi umum karena warna kulit atau aksen mereka, “ungkapnya

Konflik antara komunitas Hindu dan Muslim India di Leicester menunjukkan kegagalan Inggris dalam mempromosikan persatuan. Alih-alih mendukung integrasi, media Inggris justru membesar-besarkan konflik, memicu ketakutan dan perpecahan.

Sethi menambahkan, kerusuhan anti-migran 2024, dipicu oleh disinformasi, menempatkan migran India dalam kategori “orang asing” yang dicemooh.

Kegagalan Inggris mengendalikan retorika sayap kanan, didukung tokoh seperti Nigel Farage, menunjukkan bahwa negara itu membiarkan prasangka terus membara.

Bagi migran India yang mempertimbangkan pindah ke Inggris modern, prospek ini memang mengkhawatirkan. Meski ada undang-undang seperti Equality Act (2010), kejahatan kebencian terus terjadi.

Sethi mencatat, dalam kurun 2022-2023, lebih dari 6.000 insiden kebencian rasial. Migran India berisiko mengalami pelecehan verbal, serangan fisik, atau mikroagresi, terutama di daerah dengan keragaman rendah.

Inggris menyambut bakat India—dokter, ahli IT, insinyur—tetapi menawarkan peluang terbatas untuk mendapatkan status permanen.

Sistem Kesehatan Nasional (NHS), yang sangat bergantung pada tenaga kerja India, adalah contohnya: dihargai secara verbal, tetapi tidak stabil dalam praktik.

Inggris, yang sangat membutuhkan kesepakatan dagang pasca-Brexit, tidak bisa sepenuhnya menolak orang India, hanya menawarkan perlindungan setengah hati.

“Namun, ini bukan cerita kekalahan. Migran India telah mengubah Inggris secara budaya, ekonomi (melalui keahlian mereka), dan politik (melalui pemimpin seperti Rishi Sunak), ” lanjutnya.

Kesuksesan mereka adalah teguran terhadap Inggris, bukti ketahanan India di hadapan bangsa Inggris yang mengambil lebih banyak daripada memberi,” simpul Sethi.

“Sebagai orang India, saya melihat migrasi ke Inggris sebagai tindakan berani, upaya untuk menegaskan diri di negara yang berhutang lebih banyak pada kami daripada yang diakuinya, ” tandasnya. (Red)

Penulis: Amy Maulana

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like