
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Hari itu, 15 Juli 2025, jam 06.15 pagi ketika langit Magelang masih menguap, kami—sekumpulan anak muda yang jenuh dengan rutinitas perkuliahan dan kerja—memulai langkah pertama menuju Gunung Andong via Pendem.
Matahari belum sepenuhnya bangun, tapi semangat kami sudah menyala seperti api unggun yang tak sabar menari.
Setiap tanjakan bercerita: tentang napas yang tertahan, keringat yang mengalir deras, dan tawa-tawa konyol yang sengaja kami tebarkan untuk mengusir lelah.
Di ketinggian 1.726 mdpl, kami bukan hanya mendaki gunung, tapi juga menaiki tangga-tangga rindu akan kebebasan.
Puncak Andong menyambut kami dengan sunyi yang syahdu. Kabut tipis menyelimuti hamparan hijau perbukitan, sesekali tersibak oleh angin yang membisikkan mantra-mantra alam.
Kami duduk di antara bebatuan vulkanik, menatap awan-awan yang bergerak lambat seperti kapal kertas raksasa.
Di sini, waktu tak lagi diukur oleh jam tangan, tapi oleh kedipan mata yang tak mau melewatkan detik-detik ketika matahari menerpa dedaunan hingga berkilau seperti emas cair.
Teman-teman bercerita tentang mimpi-mimpi yang tertunda, tentang dosen yang killer, tentang atasan yang menyebalkan—tapi semua keluh kesah itu larut dalam udara sejuk yang menyejukkan paru-paru.
Turun jam 14.43, kaki sudah pegal tapi hati ringan. Kami beristirahat di warung sederhana dekat basecamp, menyeruput kopi panas yang terasa lebih nikmat setelah perjuangan tadi.
Kaki yang lecet, baju yang basah, dan otot yang pegal—semua itu menjadi medali yang kami banggakan.
Gunung Andong mengajarkan kami bahwa liburan bukan sekadar pelarian, tapi ruang untuk mengingat kembali bahwa di balik tumpukan tugas dan deadline, ada langit yang selalu menunggu untuk dipandang.
Ada angin yang bersedia mendengarkan keluh kesah, dan ada bumi yang tak pernah berhenti memeluk kami dengan keindahannya.
Pulang ke Jogja, kami membawa lebih dari foto-foto. Kami membawa pulang ketenangan yang tak bisa dibeli di mall, kebersamaan yang tak tergantikan oleh virtual meeting, dan satu pelajaran sederhana: kadang, untuk menemukan diri sendiri, kita hanya perlu tersesat sejenak di antara puncak dan awan. (Red)
Penulis: Nashrul Mu’minin, content writer, tinggal di Jogja