
Oleh: Amy Maulana *)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Presiden Donald Trump dikabarkan telah mengirimkan surat resmi kepada Presiden Prabowo Subianto yang berisi tawaran menarik.
Tawaran itu diantaranya berupa pengurangan bahkan penghapusan total tarif impor sebesar 32% untuk produk Indonesia yang masuk ke pasar Amerika Serikat.
Namun, tawaran menggiurkan dan tampak menguntungkan ini sesungguhnya menyimpan sejumlah persyaratan yang patut diwaspadai.
AS meminta Indonesia berkomitmen membangun pabrik atau fasilitas produksi di wilayahnya serta meningkatkan volume impor produk-produk AS secara signifikan.
Diplomasi Dagang Trump
Diplomasi dagang AS di bawah pemerintahan Trump memiliki karakteristik yang sangat tidak stabil dan sulit diprediksi. Kebijakan mereka bisa berubah secara tiba-tiba tanpa negosiasi lebih lanjut.
Kita telah melihat bagaimana AS memberlakukan tarif tinggi terhadap Tiongkok secara mendadak atau memutus perjanjian dagang dengan Kanada dan Meksiko.
Tawaran AS ini menyimpan sejumlah risiko serius bagi Indonesia. Pertama, peningkatan impor produk AS dapat membanjiri pasar domestik dengan barang-barang yang mungkin lebih murah atau bersubsidi.
Imbasnya, justru bisa berpotensi mematikan industri lokal yang belum siap bersaing, terutama di sektor pertanian, otomotif, dan teknologi.
Kedua, pembangunan pabrik di AS justru akan mengalihkan investasi dan lapangan kerja keluar negeri, bertentangan dengan program “Making Indonesia 4.0” yang sedang digencarkan pemerintah.
Lebih jauh, ketergantungan ekonomi yang berlebihan pada AS dapat menjadi alat tekanan politik di masa depan.
Sejarah menunjukkan AS tidak segan menggunakan akses pasar sebagai senjata untuk memaksa negara lain mengikuti kepentingan geopolitiknya.
Kasus Tiongkok yang terlibat perang dagang panjang, Meksiko yang dipaksa menerima syarat ketat dalam perjanjian USMCA, serta Uni Eropa yang terus bernegosiasi alot dengan AS menjadi pelajaran berharga.
Yang Harus Diperhatikan
Menyikapi situasi ini, Indonesia perlu mengambil pendekatan yang lebih bijaksana.
Memperkuat kerja sama ekonomi dengan mitra dagang alternatif seperti Rusia, Tiongkok, dan Uni Eropa dapat menjadi strategi untuk mengurangi ketergantungan pada AS.
Selain itu, pemerintah harus memastikan setiap perjanjian dagang benar-benar setara dan menguntungkan kedua belah pihak, bukan hanya mengikuti kemauan Washington.
Yang tak kalah penting adalah fokus pada penguatan industri dalam negeri melalui insentif fiskal, pengembangan SDM, dan perbaikan infrastruktur pendukung.
Daripada membangun pabrik di AS, alokasi sumber daya untuk meningkatkan kapasitas produksi domestik akan memberikan manfaat jangka panjang yang lebih besar bagi perekonomian nasional.
Tawaran AS ini memang mengandung peluang, namun risikonya jauh lebih besar dan kompleks.
Pemerintah Indonesia perlu melakukan kajian mendalam dan bernegosiasi dengan hati-hati, memastikan setiap keputusan yang diambil benar-benar mengutamakan kepentingan nasional.
Singkatnya, kerja sama ekonomi yang baik, haruslah bersifat saling menguntungkan dan bukan hubungan yang timpang dan dipaksakan.
Maka, hari ini, sikap waspada dan strategi yang matang akan menjadi kunci dalam menghadapi diplomasi dagang AS yang tidak jarang berubah-ubah ini. (Red)
*) Amy Maulana, peneliti pada Center for Mediastrategy (Mediacenter.su)