
SUARAMUDA, BANGKALAN — Hari ini, Universitas Trunojoyo Madura bukan hanya basah oleh hujan, tapi juga oleh kekecewaan dan kelelahan warganya.
Hujan deras yang mengguyur dalam waktu singkat seakan mengungkap kelemahan lama yang belum juga diperbaiki: genangan air yang kembali melumpuhkan akses utama kampus.
Jalan masuk yang menjadi nadi pergerakan mahasiswa berubah menjadi lautan kecil yang memaksa mereka menepi, menunggu, bahkan menerobos dengan langkah ragu.
Di tengah aliran air yang deras menutup aspal, mahasiswa berjalan dengan sepatu basah, celana menggulung, dan wajah lelah.
Sebagian tergelincir, sebagian lain hanya bisa menghela napas panjang. Yang jelas, pagi ini bukan pagi biasa di UTM.
Presiden Mahasiswa, Moh. Fauzi. ABM, menyuarakan keresahannya, bukan hanya sebagai perwakilan, tapi sebagai sesama korban.
“Air meluap ke badan jalan, kendaraan terhenti, mahasiswa terjebak. Ini bukan sekadar genangan—ini bentuk nyata dari sistem drainase yang tak lagi mampu melindungi kami,” ujarnya dengan nada getir.
“Kami tidak hanya kehilangan waktu, tapi juga rasa aman di kampus kami sendiri.”
Masalah ini bukan yang pertama. Drainase yang tersumbat, ukuran saluran yang tak memadai, dan kawasan kampus yang datar semakin mempercepat akumulasi air hujan.
Namun yang paling menyesakkan adalah rasa seolah tak ada perubahan nyata dari tahun ke tahun.
Lebih dari sekadar fisik, genangan ini menggerus semangat mahasiswa. Keterlambatan masuk kelas, pakaian basah, hingga resiko jatuh saat menyeberangi genangan adalah beban yang mereka pikul di luar beban akademik mereka.
Ahmad Jundi, Menteri Advokesma BEM KM UTM, turut menyampaikan sikap tegasnya. “Genangan seperti ini menjadi perhatian kami di Advokesma UTM.
Ini bukan hanya soal ketidaknyamanan, tapi soal hak mahasiswa untuk belajar dengan aman.
Kami akan segera berkoordinasi dengan pihak terkait agar masalah ini segera ditangani. Mahasiswa tidak seharusnya terus menjadi korban,” katanya dengan penuh keprihatinan.
Hari ini, kampus seolah bicara—melalui air yang menggenang, melalui langkah yang terhenti, dan melalui suara mahasiswa yang tak ingin lagi diabaikan.
UTM harus berubah, bukan hanya untuk mencegah banjir, tapi untuk menjaga semangat belajar tetap menyala, bahkan di tengah hujan deras. (Red)