Bangka Belitung: Alam yang Terkikis, Kearifan yang Terlupakan

Alma Nurfauziah, mahasiswa Akuntansi, Universitas Bangka Belitung

Oleh: Alma Nurfauziah *)

SUARAMUDA, SEMARANG — Bangka Belitung adalah surga tropis yang tak pernah habis diperbincangkan soal keindahan. Pantainya mempesona, lautnya menggoda, dan kekayaan mineralnya terutama timah menjadi tulang punggung ekonomi daerah selama puluhan tahun.

Namun di balik citra pariwisata dan kekayaan alam itu, tersimpan realita yang kian mengkhawatirkan: lingkungan hidup yang terus terdegradasi dan nilai-nilai kearifan lokal yang nyaris punah.

Kerusakan ekologis di Bangka Belitung bukanlah hal baru. Aktivitas penambangan, baik legal maupun ilegal, telah menyisakan lubang-lubang menganga di daratan dan keruhnya perairan laut.

Reklamasi dan rehabilitasi lahan seringkali hanya menjadi formalitas administratif, bukan solusi nyata. Namun, ada hal yang jarang dibahas dalam percakapan lingkungan di daerah ini: kehilangan hubungan emosional dan spiritual masyarakat dengan alam.

Dulu, masyarakat adat di Bangka Belitung memegang nilai-nilai yang sangat menghargai alam.

Ada tradisi sedekah laut, pantangan-pantangan adat di kawasan hutan, dan ritual-ritual penghormatan terhadap alam yang diwariskan turun-temurun.

Nilai ini bukan sekadar budaya, melainkan juga cara komunitas menjaga keseimbangan ekologis secara sosial dan spiritual.

Kini, modernisasi, tekanan ekonomi, dan politik ekstraktif telah mengikis nilai-nilai tersebut. Anak-anak muda tidak lagi melihat hutan dan laut sebagai bagian dari jati diri mereka.

Alam telah berubah dari teman dan pelindung menjadi objek eksploitasi. Ketika tambang merusak, reaksi pertama bukanlah kemarahan terhadap ketimpangan, melainkan pertanyaan: Bagaimana cara ikut dapat bagian?

Padahal, ketika manusia kehilangan hubungan spiritual dengan alam, maka segala bentuk kerusakan tidak lagi terasa sebagai bencana moral.

Kita menjadi kebal terhadap lubang-lubang tambang, terhadap hilangnya ikan dari laut, terhadap longsor dan banjir yang makin sering terjadi.

Solusi terhadap masalah lingkungan Bangka Belitung tidak cukup hanya dengan regulasi atau teknologi. Pendekatan struktural perlu disertai dengan pemulihan nilai-nilai kultural dan spiritual.

Pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan lembaga pendidikan harus berani mengembalikan kesadaran ekologis berbasis kearifan lokal.

Mengajarkan kembali kepada anak-anak bahwa tanah yang mereka injak adalah warisan, bukan aset dagang. Bahwa laut bukan hanya tempat mencari ikan, tetapi juga ruang hidup yang harus dihormati.

Bangka Belitung masih punya harapan. Tapi harapan itu hanya akan nyata jika kita mulai memperlakukan alam bukan sebagai objek transaksi, melainkan sebagai sahabat lama yang sedang terluka. (Red)

*) Alma Nurfauziah, mahasiswa Akuntansi, Universitas Bangka Belitung
**) Artikel ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah, isi dan pesan dalam artikel bukan menjadi tanggung jawab redaksi

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like