Lebaran Telah Usai, Tapi ‘Puasa’ Anak Sekolah Belum Berakhir: Mengulik Polemik Implementasi MBG di Indonesia

Foto Penulis: Hermudananto (dok istimewa)

Oleh: Hermudananto *)

SUARAMUDA, SEMARANG – Senang sekali melihat perayaan Hari Raya Idulfitri 1446 H berlangsung serentak antara pemerintah, Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah pada 31 Maret 2025 lalu.

Selama 30 hari penuh, umat Muslim di Indonesia telah menunaikan ibadah puasa, menahan lapar dan dahaga selama sekitar 13 jam setiap harinya.

Usai puasa, qnak-anak sekolah kemudian masih menikmati liburan, dan sebagian dari mereka masih merayakan Lebaran di kampung halaman bersama keluarga.

Hidangan khas Lebaran seperti opor ayam, ketupat, dan sambal goreng krecek tak pernah absen, semakin menambah semarak suasana.

Apalagi, momen silaturahmi dengan sanak saudara sering kali disertai dengan rezeki tambahan berupa Tunjangan Hari Raya (THR), membuat kebahagiaan Lebaran semakin terasa.

Saat ini anak-anak sekolah sudah kembali beraktivitas seperti biasa dan melanjutkan proses belajar di sekolah. Dan tak terasa, kini sudah memasuki bulan keempat di tahun 2025, saat mereka mulai bersiap menghadapi ujian akhir semester atau kenaikan kelas.

Namun, hingga kini, sebagian besar sekolah masih belum merasakan manfaat Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dari pemerintah, yang seharusnya sudah berjalan sejak awal Januari 2025.

Sebagai salah satu inisiatif besar pemerintah, MBG digadang-gadang menjadi langkah strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui perbaikan gizi anak sekolah.

Dengan anggaran fantastis sebesar Rp71 triliun dalam APBN 2025, program ini diharapkan membawa perubahan nyata.

Pada tahap awal, 15 juta penerima manfaat—termasuk siswa sekolah dan ibu hamil—menjadi sasaran utama, dengan ambisi besar menjangkau hingga 82,9 juta orang pada tahun 2029. Namun, seberapa jauh realisasi program ini telah berjalan?

Realisasi Program MBG

Hingga Maret 2025, jumlah penerima manfaat Program MBG baru mencapai 2,05 juta orang, atau sekitar 2,5% dari target awal.

Saat ini, hanya ada sekitar 726 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang telah beroperasi, jumlah yang masih jauh dari memadai untuk memastikan efektivitas distribusi makanan bergizi ke seluruh siswa di Indonesia.

Terlebih lagi, tantangan besar dalam mendistribusikan makanan ke daerah-daerah terpencil atau sulit dijangkau semakin diperparah oleh keterbatasan transportasi dan infrastruktur yang ada.

Selain itu, isu terkait kualitas dan keamanan makanan juga masih menjadi perhatian. Beberapa siswa di Sukoharjo, Jawa Tengah, sempat mengalami keracunan setelah mengonsumsi makanan yang diduga terkontaminasi pada Januari 2025.

Lebih jauh lagi, muncul kabar bahwa beberapa menu dalam program ini akan diganti dengan hidangan khas Indonesia seperti pempek atau batagor, dengan alasan untuk memperkenalkan makanan tradisional.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa perubahan menu tersebut bisa mengurangi variasi gizi yang sebelumnya ada, yang dapat berdampak pada keseimbangan nutrisi yang dibutuhkan anak-anak.

Di sisi lain, Kementerian Keuangan melaporkan bahwa anggaran yang telah terealisasi untuk program prioritas ini hingga 12 Maret 2025 mencapai Rp 710,5 miliar.

Perlu dicatat, bahwa perkiraan kebutuhan anggaran untuk MBG diperkirakan mencapai Rp 450 triliun per tahun, dengan asumsi harga satu porsi makanan sebesar Rp 15 ribu.

Keterbatasan dana ini menjadi kendala dalam memperluas cakupan program dan menjangkau seluruh target yang telah ditetapkan, sehingga beberapa laporan mencatat anggaran per porsi MBG yang disesuaikan menjadi Rp10 ribu, atau bahkan Rp8 ribu.

Tentu menjadi kecemasan orangtua pula mengenai menu apa yang akan disajikan nantinya dengan anggaran tersebut.

Fakta di Lapangan

Sebagai orangtua dari dua anak yang kini bersekolah di tingkat dasar dan menengah pertama di Kota Yogyakarta, tepatnya di kawasan Kotabaru yang merupakan jantung kota, kami masih belum merasakan manfaat dari Program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Setiap hari, kami terpaksa membawakan bekal makanan dari rumah untuk memastikan kebutuhan gizi anak-anak kami terpenuhi, agar mereka bisa fokus dalam proses belajar di sekolah.

Bahkan, uang jajan pun kami berikan setiap hari jika mereka merasa bosan dengan menu yang kami siapkan. Yang lebih menggugah, anak-anak kami sering bertanya, “Kapan kami bisa mendapatkan makan siang gratis dari pemerintah?” saat kami sedang menonton berita di televisi.

Sebuah pertanyaan sederhana yang menggambarkan harapan mereka untuk bisa merasakan manfaat langsung dari program ini.

Terlebih pengalaman kedua anak saya bersekolah di Amerika Serikat yang mana mereka mendapatkan makan pagi dan siang gratis dari sekolah dengan menu yang sangat bervariasi dan bergizi, membuat harapan mereka sangat tinggi realisasi MBG di sekolah mereka saat ini di Indonesia.

3 Catatan Percepatan Implementasi MBG

Setidaknya berikut tiga catatan penting untuk percepatan implementasi MBG. Pertama; percepat pendirian SPPG. Pemerintah dapat mempercepat pendirian SPPG dengan memetakan sekolah-sekolah yang belum terjangkau, terutama di daerah terpencil, dan membangun fasilitas sederhana seperti dapur dan tempat penyimpanan makanan di sekolah-sekolah tersebut.

Setiap sekolah dapat melibatkan tenaga pendidik dan petugas untuk diberi pelatihan tentang memasak makanan bergizi dengan bahan yang mudah didapat. Selain itu, pemerintah bisa bekerja sama dengan pemasok lokal untuk memastikan bahan makanan yang bergizi dan terjangkau.

Untuk menjaga kualitas dan efektivitasnya, pemerintah perlu melakukan evaluasi rutin terhadap operasional SPPG dengan mengumpulkan umpan balik dari siswa dan orangtua. Dengan cara ini, SPPG bisa berjalan lebih cepat dan memberikan manfaat maksimal bagi anak-anak di seluruh Indonesia.

Kedua; memanfaatkan teknologi untuk pemantauan. Pemerintah dapat memanfaatkan teknologi untuk memantau distribusi, kualitas makanan, dan anggaran program MBG dengan mengembangkan aplikasi berbasis mobile atau web yang memungkinkan pihak sekolah, petugas distribusi, dan pengelola program untuk melaporkan status pengiriman makanan, kualitas bahan, serta penerimaan porsi makanan secara real-time.

Aplikasi ini juga bisa mencatat setiap transaksi pembelian bahan makanan dan pengeluaran anggaran, memastikan penggunaan dana yang efisien. Dengan sistem ini, setiap pihak yang terlibat dapat memantau dan mengevaluasi pelaksanaan program secara transparan, sehingga memudahkan pengambilan keputusan dan perbaikan jika diperlukan.

Ketiga; kolaborasi dengan swasta dan komunitas. Perusahaan seperti Grab Indonesia yang mendukung distribusi makanan ke sekolah-sekolah dengan memanfaatkan platform layanan antar, sementara petani lokal bekerja sama dengan pemerintah untuk menyediakan bahan makanan segar dan terjangkau.

Perusahaan besar seperti Unilever dan Nestlé berperan dalam penyediaan bahan makanan bergizi dan pelatihan kepada pengelola SPPG.

Selain itu, komunitas lokal di beberapa daerah berperan aktif dalam memonitor distribusi makanan dan memberikan umpan balik mengenai kualitas menu yang disajikan, sementara organisasi internasional seperti UNICEF membantu memberikan pelatihan tentang gizi dan merancang menu yang sesuai dengan standar internasional. Kolaborasi ini memastikan program MBG berjalan efektif dan relevan dengan kebutuhan masing-masing daerah.

Harapan anak-anak mengenai MBG sebenarnya sederhana yaitu mendapatkan makanan yang tidak hanya bergizi, tetapi juga enak, bervariasi, dan sesuai dengan selera mereka. Mereka berharap program ini berjalan secara konsisten setiap hari, memberikan makanan yang mendukung kesehatan dan energi mereka untuk belajar.

Selain itu, mereka ingin makanan yang disajikan sesuai dengan budaya dan kebiasaan lokal masing-masing daerah, serta merasa bahwa semua teman sekelas mereka mendapatkan hak yang sama tanpa diskriminasi.

Dengan adanya MBG, anak-anak berharap dapat merasa lebih sehat, bertenaga, dan mampu belajar dengan lebih baik, mendukung perkembangan fisik dan mental mereka.

Sepertinya, lebaran memang telah usai, namun “puasa” bagi sebagian besar anak-anak sekolah di Indonesia masih berlanjut, bukan dari makanan, tetapi dari harapan akan gizi yang lebih baik melalui program MBG.

Program yang digadang-gadang sebagai terobosan besar ini masih menghadapi berbagai tantangan dalam implementasinya. Di tengah semangat keceriaan pasca-Lebaran, anak-anak sekolah kembali ke bangku pendidikan dengan harapan MBG dapat segera dirasakan secara merata.

Pemerintah perlu bergerak lebih cepat dan memastikan program ini benar-benar berjalan sesuai rencana, agar janji gizi bagi generasi penerus bangsa tidak hanya menjadi sekadar wacana. (Red)

*) Penulis: Hermudananto, orangtua dari dua anak yang saat ini bersekolah di SD dan SMP di Yogyakarta

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like