
Oleh: Rifki Mustofa *)
SUARAMUDA, SEMARANG — Momentum lebaran sudah tentu menjadi saat yang paling dinanti. Tidak hanya tentang hidangan khas yang menggugah selera, pakaian bagus di kala hari raya maupun pertemuan hangat bersama sanak saudara juga keluarga, tetapi di balik itu semua terdapat nilai kehidupan tentang perjalanan pulang yang menyimpan banyak kisah.
Salah satu tradisi yang melekat di Indonesia adalah mudik, sebuah perjalanan yang sarat makna, di mana para perantau berbondong-bondong kembali ke kampung halaman mereka.
Beragam cara dan jalan ditempuh, mulai dari menggunakan kendaraan pribadi hingga berdesakan di kendaraan umum. Di balik keramaian dan hiruk-pikuk perjalanan, sebenarnya ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik.
Saat berada dalam kendaraan atau angkutan umum, tanpa kita sadari, kita diajak melihat lebih dekat wajah-wajah masyarakat. Ada yang duduk termenung memikirkan keluarga, ada yang sibuk mengobrol untuk melepas penat, dan ada pula yang saling bertanya tentang tujuan perjalanan.
Terkadang juga muncul secuil pertanyaan sederhana , “Mau turun di mana, Pak?” atau “Tujuannya ke mana, Bu?” diiringi senyuman dan ucapan doa, “Semoga selamat sampai tujuan”.
Dari ini saja sudah timbul cerminan tentang arti kepedulian dan kehangatan yang masih hidup di tengah perjalanan yang melelahkan.
Selain itu, ada juga hal menarik yang hampir selalu kita jumpai di kala melakukan aktivitas mudik. Seperti alunan petikan gitar dari para pengamen jalanan yang mengisi perjalanan dengan lantunan lagu-lagu lawas penuh makna.
Suara jreng-jreng gitar yang sederhana, namun terasa begitu dalam, apalagi saat didengar di tengah perjalanan panjang yang melelahkan. Setiap bait lagunya seakan menjadi teman, menenangkan lelah yang tak bisa dihindari.
Terkadang di sela-sela perjalanan, sering terdengar pula suara lantang yang sudah tak asing di telinga para pemudik “Air Aqua, mainan anak, makanan atau minuman, dan lain lain”.
Seru, seorang bapak atau ibu penjual yang mondar-mandir menyusuri lorong kendaraan. Mereka menawarkan dagangannya dengan penuh harapan.
Tak jarang senyum lelah mereka tetap merekah, meski langkah kaki terasa berat. Setiap langkahnya adalah perjuangan, dan setiap suaranya adalah doa yang tersembunyi, memohon agar rezeki hari itu cukup untuk dibawa pulang, apalagi menjelang hari raya.
Dari ini setidaknya ada nilai yang diajarkan pada kita bahwa perjalanan mudik, sejatinya bukan hanya soal jarak atau perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Tanpa kita sadari, di balik itu semua tersimpan pelajaran berharga.
Mungkin, doa musafir yang kita panjatkan, sedekah recehan yang kita berikan di tengah perjalanan, atau sekedar senyum dan ucapan ramah pada sesama penumpang, bisa menjadi sebab keselamatan kita sampai tujuan.
Sebagaimana sabda Nabi dalam potongan haditsnya
الصدقة تدفع البلاء
Artinya; Sedekah dapat menolak bala’ (musibah)
Sedekah bukan hanya tentang besarnya angka, tetapi tentang keikhlasan, senyuman, dan kepedulian yang mengalir bersamanya.
Siapa sangka dan kita tidak akan pernah tau juga, receh yang kita sisihkan bisa saja menjadi nafkah yang menghidupi satu keluarga mereka, atau menjadi sebab hadirnya kebahagiaan di meja makan mereka di saat hari lebaran tiba.
Mudik mengajarkan kita bahwa hidup sejatinya adalah perjalanan panjang yang akan terasa lebih indah bila dilalui dengan kepedulian dan doa-doa kebaikan.
Dalam sebuah perjalanan juga bukan hanya sekadar perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, melainkan juga tentang memahami arti kehidupan, berbagi makna, dan memetik pelajaran di setiap langkah perjalanan.
Teruntuk teman teman yang mudik, hati hati di jalan, selamat sampai tujuan dan bersuka ria bersama sanak keluarga serta saudara. (Red)
*) Rifki Mustofa, mahasiswa Jurusan Bahasa & Sastra Arab UIN Maulana Malik Ibrahim; Pengamat Sosial & Budaya