
Oleh; Jeremy Nicholas*)
SUARAMUDA, SEMARANG – Beberapa saat lalu, Indonesia digemparkan dengan berita mengenai banyaknya mahasiswa di seluruh Indonesia yang tergabung ke dalam BEM SI (Badan Eksekutif Mahasiswa Serikat Indonesia) melakukan demonstrasi.
Selain Jakarta, aksi demonstrasi juga dilakukan di kota-kota besar seperti Semarang, Jogja, Surabaya, Makassar, dan masih banyak lagi. Aksi ini pun berlangsung serentak pada 17 hingga 20 Februari 2025.
Sontak, berita tersebut menuai pro dan kontra dari warganet. Untuk memahami lebih dalam mengenai aksi ini, mari kita telisik lebih jauh apa yang menyebabkan mahasiswa melakukan demonstrasi.
Latar Belakang Demo Mahasiswa
Dilansir dari media TEMPO (19/2/2025), demonstrasi dilakukan untuk mendesak tanggung jawab pemerintah terhadap situasi negara yang diklaim semakin memburuk.
Salah satu penyebab memburuknya kondisi negara adalah pemotongan anggaran sektor-sektor fundamental seperti pendidikan dan kesehatan demi membiayai program makan siang gratis (MBG) pemerintah.
Kebijakan ini dianggap merugikan masyarakat, terutama mahasiswa, karena berdampak pada kualitas layanan pendidikan dan kesehatan yang semakin menurun.
Lebih lanjut, faktor lain yang memicu kemarahan mahasiswa adalah pengangkatan artis dan influencer Deddy Corbuzier sebagai staf khusus Kementerian Pertahanan.
Jabatan tersebut setara dengan eselon 1 pegawai negeri sipil (PNS), yang berarti ia akan menerima gaji dan tunjangan sekitar 33 juta rupiah per bulan.
Mahasiswa menilai bahwa di saat negara sedang melakukan efisiensi besar-besaran, pengangkatan seorang figur publik tanpa latar belakang militer atau pertahanan ke dalam posisi strategis adalah keputusan yang kurang tepat.
Namun, bukan hanya itu yang menjadi sorotan mahasiswa. Mereka juga menuntut pencabutan kebijakan yang dinilai mengembalikan Dwifungsi ABRI.
Sejarah kelam masa lalu menjadi alasan utama mahasiswa menolak kebijakan ini, karena pada era sebelum reformasi 1998, peran ganda militer dalam ranah sipil telah membatasi demokrasi dan kebebasan rakyat.
Kekhawatiran terhadap Peran Militer dalam Sektor Sipil
Bukan tanpa alasan mahasiswa memasukkan poin ini ke dalam tuntutan mereka. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya anggota militer aktif yang menduduki jabatan di sektor sipil.
Dilansir dari DetikNews (24/2/2024), misalnya, Mayor Jenderal TNI Novi Helmy Prasetya resmi menjabat sebagai Direktur Utama Perum Bulog setelah dilantik pada Februari 2025.
Lalu, Mayor Jenderal TNI Maryono telah menduduki posisi Inspektur Jenderal Kementerian Perhubungan sejak Desember 2024. Selain itu, Mayor Inf Teddy Indra Wijaya juga diangkat sebagai Sekretaris Kabinet pada Oktober 2024.
Besarnya peran militer dalam urusan sipil semakin meningkatkan keresahan mahasiswa dan masyarakat. Mengingat pengalaman sejarah Indonesia sebelum reformasi, kehadiran militer dalam pemerintahan sipil berpotensi mengekang kebebasan berpendapat dan menghambat perkembangan demokrasi.
Lebih jauh, kebijakan ini dikhawatirkan dapat mendorong kembalinya sifat totalitarianisme dalam pemerintahan, sebagaimana terjadi di era Orde Baru.
Dinamika Demonstrasi di Jawa Timur
Setelah memahami alasan di balik aksi demonstrasi ini, mari kita melihat bagaimana dinamika di lapangan, khususnya di wilayah Provinsi Jawa Timur (Jatim).
Pada 17 Februari, mahasiswa dari berbagai daerah di Jawa Timur menggelar aksi di depan gedung DPRD Jatim. Mereka berkumpul sejak pukul 12 siang dan bertahan hingga pukul 6 sore.
Tuntutan mereka sederhana, yaitu meminta Ketua DPRD Jatim menandatangani surat tuntutan dan menghubungi salah satu pejabat tinggi pemerintahan seperti Mayor Teddy atau Ketua DPR RI Puan Maharani.
Namun, tuntutan tersebut tidak direspons oleh Ketua DPRD Jatim, Musyafak Rouh, dengan alasan tidak memiliki nomor telepon Ketua DPR RI.
Tentu saja, alasan ini dinilai tidak masuk akal, mengingat seorang pejabat tertinggi legislatif di Jawa Timur seharusnya memiliki akses komunikasi dengan pejabat pusat. Oleh karena itu, mahasiswa tetap melanjutkan aksi di depan gedung DPRD.
Alih-alih meminta maaf karena tidak dapat memenuhi tuntutan mahasiswa, Ketua DPRD Jatim justru pergi meninggalkan lokasi. Sikap ini semakin memperkuat anggapan bahwa para pemimpin daerah kurang responsif terhadap aspirasi rakyat.
Tindakan Ketua DPRD Jatim ini menunjukkan ketidakberanian dia dalam mengambil posisi demi kepentingan rakyat, yang seharusnya menjadi prioritas utama.
Tindakan Represif terhadap Demonstran
Selain kekecewaan terhadap respons pejabat, demonstrasi ini juga diwarnai tindakan represif dari aparat keamanan. Meskipun mahasiswa telah berupaya melakukan aksi dengan damai, mereka tetap mendapat perlakuan keras, seperti pemukulan, penembakan water cannon, dan aksi dorongan.
Tentu saja, tindakan ini tidak dapat dibenarkan dalam kondisi apa pun. Aparat kepolisian memiliki tugas utama untuk mengayomi seluruh masyarakat, termasuk mahasiswa.
Mengingat gaji dan peralatan mereka dibiayai dari pajak rakyat, semestinya mereka bertindak sebagai pelindung rakyat, bukan justru bertindak melawan mereka.
Kesimpulan
Aksi demonstrasi mahasiswa pada Februari 2025 ini bukan tanpa alasan. Kebijakan pemerintah yang dinilai tidak efektif dan meresahkan rakyat, mulai dari pemotongan anggaran di sektor fundamental hingga kebijakan yang memungkinkan kembalinya Dwifungsi ABRI, menjadi pemicu utama.
Jika dibiarkan, kondisi ini berpotensi mengancam demokrasi dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Maka, mahasiswa diharapkan dapat terus berperan sebagai agen ‘check and balance‘ agar pemerintahan ke depan memiliki arah yang lebih baik.
Yang terpenting, pemerintah harus mengutamakan kepentingan rakyat, bukan hanya kepentingan golongan tertentu. Respons yang tepat dan kebijakan yang berpihak pada rakyat akan menjadi kunci bagi stabilitas dan kemajuan bangsa. (Red)
*) Jeremy Nicholas, Mahasiswa Sosiologi Universitas Airlangga