
Oleh: Andri Rahman*)
SUARAMUDA, SEMARANG – Seratus hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah berlalu, meninggalkan jejak evaluasi yang mengkhawatirkan.
Alih-alih membawa perubahan positif, berbagai kebijakan yang diambil justru menimbulkan polemik dan dianggap kontraproduktif terhadap kesejahteraan rakyat.
Salah satu sorotan utama adalah upaya efisiensi anggaran yang digadang-gadang pemerintah. Alih-alih mengalokasikan dana hasil efisiensi untuk program yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat kecil, pemerintah justru berencana mengalihkan dana tersebut ke proyek-proyek besar yang jauh dari jangkauan rakyat.
Kebijakan ini menuai kritik tajam karena dianggap tidak peka terhadap kondisi ekonomi masyarakat bawah yang semakin terpuruk.
Potensi Lahan Baru bagi Koruptor
Kekhawatiran lain yang mencuat adalah potensi korupsi dalam pengelolaan dana hasil efisiensi anggaran. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa proyek-proyek besar seringkali menjadi ladang subur bagi praktik korupsi.
Tanpa pengawasan yang ketat dan transparansi, dana tersebut berisiko disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, memperkaya diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan rakyat.
Lebih lanjut, rencana Presiden Prabowo untuk menunjuk Joko Widodo sebagai pengawas proyek-proyek besar menimbulkan kontroversi.
Pasalnya, Joko Widodo sebelumnya masuk dalam daftar finalis tokoh terkorup ketiga dunia versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) pada tahun 2024.
Meskipun OCCRP mengakui tidak memiliki bukti bahwa Joko Widodo terlibat dalam korupsi untuk keuntungan finansial pribadi selama masa jabatannya, penunjukan ini tetap memicu polemik di kalangan masyarakat.
Kinerja Kabinet yang Mengecewakan
Evaluasi terhadap kinerja kabinet Prabowo-Gibran selama 100 hari pertama juga menunjukkan hasil yang kurang memuaskan.
Survei yang melibatkan 95 jurnalis dari 44 lembaga pers kredibel menunjukkan bahwa 49% responden menilai kinerja kabinet buruk, dengan rincian 7% menyatakan sangat buruk dan 42% buruk.
Hanya 8% responden yang menilai kinerja kabinet baik, sementara sisanya menganggap cukup.
Beberapa menteri mendapatkan sorotan negatif dalam evaluasi tersebut. Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, dinilai sebagai menteri dengan kinerja terburuk, mendapatkan skor -113 poin.
Disusul oleh Menteri Koperasi, Budi Arie Setiadi, dengan skor -61 poin, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, dengan skor -41 poin.
Penilaian ini mencerminkan ketidakpuasan terhadap kinerja para menteri dalam memenuhi harapan publik.
Selain kinerja individu, kolaborasi antar kementerian juga menjadi sorotan. Sebanyak 46% responden menilai kolaborasi antar kementerian tidak efektif, yang tercermin dari pelaksanaan program yang sering mengalami tumpang tindih kebijakan dan inkonsistensi dalam implementasi di lapangan.
Hal ini mengindikasikan perlunya perbaikan koordinasi dan komunikasi antar lembaga pemerintah untuk mencapai tujuan bersama.
Seratus hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran seharusnya menjadi momentum untuk menunjukkan komitmen terhadap perubahan dan perbaikan kesejahteraan rakyat.
Namun, berbagai kebijakan dan langkah yang diambil justru menimbulkan kekhawatiran dan kekecewaan.
Pemerintah perlu segera melakukan evaluasi menyeluruh, memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat, serta menghindari potensi korupsi yang dapat merugikan negara dan masyarakat. (Red)
*) Penulis adalah alumni Prodi Magister Pendidikan IPS FISIP UNNES