SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Fatayat NU Kota Semarang dan Forpela (Forum Perempuan Lintas Agama) Kota Semarang menggelar kegiatan Pelatihan Deteksi Dini dan Pencegahan Konflik Sosial (Part 1), berlangsung pada 5 Desember 2025.
Acara yang bertempat di MA Al Asror Gunungpati ini, dimulai pukul 12.30 hingga 16.30 WIB dan dihadiri 90 peserta dari berbagai perempuan lintas agama di Kota Semarang.
Acara dibuka dengan laporan panitia oleh Hj. Istigfaroh, M.Pd. sekaligus tuan rumah, yang menekankan apresiasi kepada seluruh peserta serta pentingnya penerapan ilmu pelatihan di organisasi masing-masing.
Ia menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari langkah strategis perempuan dalam merespons dinamika sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat.
Ketua Forpela, Prof. Dr. Arikhah, M.Ag dalam sambutannya, menyoroti urgensi pelatihan deteksi dini konflik sebagai bentuk antisipasi terhadap gesekan sosial yang dapat terjadi akibat perbedaan persepsi, dinamika politik, ekonomi, budaya, maupun agama.
Ia mengajak seluruh peserta untuk bersyukur karena Kota Semarang masih berada dalam kondisi kondusif.
Senada dengannya, Ketua FKUB Kota Semarang, Drs. KH. Mustamaji, MM., menyampaikan pentingnya ajaran kerukunan dalam setiap agama.
Kiai Mustam, sapaannya, menjelaskan bahwa Semarang memiliki kekayaan tradisi yang menunjukkan heterogenitas dan kerukunan masyarakat, salah satunya melalui Tradisi ‘Warak Ngendog’.
Ia menambahkan bahwa Semarang meraih peringkat ketiga kota toleran di Indonesia, dan menjadi peringkat pertama jika dilihat dalam kategori kota besar.
Keynote speech disampaikan oleh perwakilan Kesbangpol Kota Semarang, Agus Suryanto, S.Sos., MM. Ia memaparkan bahwa Kota Semarang terus mengalami peningkatan dalam indeks harmoni sosial dan toleransi, bahkan dinobatkan sebagai kota harmoni peringkat pertama pada tahun 2025.
Menurutnya, perempuan memiliki peran penting sebagai garda terdepan dalam menjaga toleransi, karena konflik sosial yang tak terkelola dapat berdampak luas hingga merusak infrastruktur, aspek sosial, dan psikologis masyarakat.
Ia berharap pelatihan ini mampu memperkuat peran perempuan sebagai aktor perdamaian mulai dari lingkup keluarga.
Masrohatun, M.Si., selaku narasumber menjelaskan bahwa konflik sering berawal dari perbedaan persepsi yang dipaksakan antarindividu.
Dalam pemaparannya, ia menekankan bahwa banyak konflik dapat diatasi jika masyarakat mampu menangani akar masalah, bukan hanya faktor pemicu.
Sementara itu, Dr. Kurnia Muhajarah, M.S.I., selaku pemateri kedua juga menegaskan bahwa konflik tidak hanya terjadi di ruang publik, namun juga bermula dari diri sendiri dan keluarga.
Ia menekankan pentingnya mengurai bias kognitif seperti memori selektif, merasa paling benar, serta kecenderungan menyederhanakan masalah.
Menurutnya, kemampuan mendengar dengan empati menjadi keterampilan penting sebelum meminta orang lain untuk mendengarkan.
Sesi diskusi berlangsung dinamis dan ditutup dengan “Deklarasi 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan” sebagai komitmen bersama melawan kekerasan dan mendorong peran aktif perempuan dalam menjaga perdamaian. (Red)