Media Sosial, Propaganda dan Demokrasi

Ilustrasi media sosial / sumber: pinterest

Oleh: Gebrile Mikael Mareska Udu, mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Kenangan akan fenomena gelombang demonstrasi yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia pada akhir Agustus 2025 lalu membangkitkan ingatan masa lalu akan kenangan demokrasi di Nusantara pra reformasi.

Peristiwa tersebut menyisakan luka mendalam dan pelajaran berharga bagi negeri tercinta ini. Tercatat ada 10 korban jiwa termasuk Affan Kurniawan, seorang pengemudi Gojek. Ia menjadi korban di balik gerangan massa akan sikap segelintir elite politik yang cenderung flexing.

Selain itu, sikap elite politik yang kurang menunjukkan sopan santun dalam komunikasi publik seperti Bang Sahroni dkk tak pelak memancing amarah publik.

Dalam nada amarah yang sama, baru-baru ini terjadi demonstrasi besar-besaran di Nepal yang dipelopori oleh generasi Z. Mereka memprotes kebijakan pemerintah yang memblokir media sosial seperti Facebook, X, Instagram, Whatsapp, dan Youtube.

Media-media tersebut dinilai tidak mematuhi persyaratan baru untuk mendaftar dan mematuhi peraturan pemerintah. Selain itu, gerangan massa ditambah rasa frustrasi dan ketidakpuasan terhadap para elite partai-partai politik yang dituding korupsi (Kompas 19/9/2025).

Menariknya, berbagai gerakan demonstrasi itu didukung oleh keberadaan media sosial sebagai alat komunikasi publik. Demonstrasi yang bisa terjadi di beberapa wilayah di Indonesia disebabkan oleh penyebaran informasi tentang demonstrasi di suatu tempat di dalam media sosial.

Misalnya, demonstrasi di Jakarta menggerakkan rasa simpatik publik di Makasar untuk menggalangkan aksi yang sama. Sama halnya di Nepal, demonstrasi mampu menggerakkan gen z dalam jumlah yang besar karena peran andil media sosial dalam proses penyebaran informasi.

Demonstrasi di suatu tempat berhasil memancing aksi yang sama di tempat yang berbeda. Media sosial juga digunakan untuk menyebarkan sikap amoral elite politik seperti gaya hidup mewah (flexing) keluarga dan anak-anak politisi yang sangat bertolak belakang dengan masyarakat kecil.

Sampai pada titik ini, kita tentu bertanya seberapa berdayanya media sosial “memprovokasi” publik terkait sistem demokrasi suatu negara?

Noam Chomsky, seorang pemikir terkemuka dalam salah satu karyanya yang berjudul ‘The Spectacular Achievements of Propaganda‘ menegaskan bahwa media massa termasuk media sosial juga dapat dijadikan alat yang ampuh dalam perebutan makna demokrasi.

Media sosial berperan membentuk atau merekayasa opini publik tentang para elite politik yang memegang kedaulatan rakyat. Dengan kata lain, opini publik terhadap elite politik bisa dipengaruhi pola dan isi pemberitaan dalam jejaring media sosial.

Kekuatan konstruksi sosial oleh media sosial terletak pada kekuatan media sosial itu sendiri sebagai media penyebaran informasi yang sangat cepat, luas, tidak terbatas geografi, serentak di tengah masyarakat.

Media sosial menghubungkan orang-orang dan memungkinkan mereka saling berbagi informasi dalam berbagai bentuk konten misalnya video, foto, dokumen, teks, dan sebagainya.

Sebagai salah satu kekuatan kontrol di tengah masyarakat atau pilar keempat (fourth state) dalam demokrasi, dua fenomena demokrasi di atas mengindikasikan bahwa pers khusunya media sosial kita telah memainkan peran kontrol sosialnya dengan baik.

Berbagai skandal politik yang dilakukan oleh elite politik dan persoalan sosial kemasyarakatan bisa diangkat ke permukaan untuk dikaji, dipecahkan, ditelanjangi, dicari jalan keluarnya sampai tuntas.

Penggunaan media sosial yang masif dewasa ini memungkinkan penyebaran informasi menjadi mudah serentak membentuk opini publik untuk menentang sikap elite politik yang cenderung flexing.

Kontribusi penggunaan media sosial terhadap penyebaran informasi seperti yang terjadi di Indonesia maupun Nepal memang tidak ada salahnya.

Kehadiran media sosial dalam menggerakan massa dengan menelanjangi skandal elite politik bisa menyadarkan mata masyarakat untuk memikirkan masa depan bangsa dan negara.

Apalagi berita negatif tentang elite politik menjadi berita empuk untuk dipublikasikan. Informasi-informasi semacam itu diyakini mempunyai nilai jual yang tinggi bagi publik ditambah tingkat kepercayaan masyarakat atas kinerja pemerintah yang semakin hari semakin menurun.

Meskipun demikian, kita tidak bisa menapik bahwa kerap kali pemberitaan yang disebarkan melalui media sosial dibesar-besarkan oleh segelintir orang dengan tujuan untuk memanipulasi opini publik.

Belum lagi isi pemberitaan itu tidak sesuai dengan fakta yang akurat atau standar jurnalistik yang benar. Justru sebaliknya isi pemberitaan semata-mata berdasarkan arus jurnalisme negatif, yakni jurnalisme yang menyuguhkan berita-berita tentang suatu peristiwa dan pandangan dari sisi negatif.

Misalnya berita yang berdurasi 10 menit bisa dipotong menjadi 2 menit hanya untuk menunjukkan sikap amoral elite politik pada bagian tertentu saja.

Dengan keyakinan bahwa “bad news is good news”, penganut jurnalisme negatif melihat berbagai masalah dari sisi negatif semata dan menyajikan secara negatif pula kepada publik. Tujuanya bukan untuk mencari jalan keluar melainkan semata-mata untuk menjatuhkan pemerintah.

Ini menjadi salah satu tantangan dan godaan untuk kehidupan media massa seperti media sosial kita saat ini. Acapkalai media sosial hadir sebagai alat propaganda untuk kepentingan tertentu.

Media sosial kecapkali menyesatkan ketika “kebebasan” diterjemahkan sebagai bebas menulis apa saja, bebas berbicara apa saja, dan bebas merekayasa apa saja. Akibatnya, ada banyak informasi yang merekayasa fakta-fakta dan menyesatkan opini publik.

Pertanyaan kita saat ini adalah apakah dalam demokrasi media sosial sebagai salah satu bagian dari media massa benar-benar digunakan berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum demi mentahtahkan kedaulatan rakyat?

Apakah penggunaan media sosial dalam politik sungguh-sungguh mengandung opsi yang jelas berpihak pada kepentingan rakyat kecil?

Oleh karena itu menanggapi peran ganda penggunaan media sosial dalam proses penyebaran informasi, sangat penting publik memahami salah satu kriteria penyebaran informasi dalam media sosial. Hal ini bertujuan untuk menghindari informasi yang tidak layak melalui media sosial.

Menurut Boris Libois (1994: 6-7) yang dikutip Haryatmoko dalam ‘Etika Komunikasi‘ (2007:45) menegaskan bahwa kriteria penyebaran informasi dalam ruang publik pertama-tama merujuk pada tanggung jawab etis aktor komunikasi akan publik yang siap mengonsumsi berita.

Tanggung jawab sosial diukur dari seberapa besar informasi yang disampaikan berorientasi kepada kepentingan publik dan manfaat informasi yang disampaikan melalui media khususnya media sosial. Tanggung jawab etis dalam penyebaran informasi dalam media sosial didasari oleh keyakinan bahwa informasi mempunyai konsekuensi.

Tanggung jawab etis penyebaran informasi itu bisa merujuk pada asas kemanusiaan dalam sebuah berita. Berita yang sesuai asas kemanusiaan adalah berita yang menghargai harkat manusia.

Kritikan dalam sebuah berita bukan untuk membunuh, melecehkan dan menghancurkan melainkan untuk perbaikan dan peningkatan kualitas manusia. Dan juga, menjunjung tinggi kebenaran dan peradaban manusia.

Tanggung jawab etis yang berasaskan kemanusiaan dalam penyebaran informasi juga terikat pada publikasi berita yang bermakna dan menumbuhkan optimism serta perilaku positif di tengah masyarakat.

Informasi yang bermakna adalah berita yang membantu pembaca untuk memahami persoalan yang diberitakan dalam konteks isu besar yang dihadapi pembaca, memenuhi kebutuhan pembaca dan membantu pembaca untuk memecahkan persoalan.

Sedangkan informasi yang yang menumbuhkan optimisme pembaca adalah menyajikan berita dengan bahsa yang santun, menghindari penggunaan kata-kata yang sarkastik, bombastik dan bahkan hiperbol.

Dengan begitu penggunaan media sosial dalam demokrasi bisa terhindar dari bahaya provokasi massa yang berujung pada aksi anarkis atau pelanggaran terhadap privasi pemerintah. (Red)

 

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like