Kurikulum Merdeka di Tengah Ketimpangan Akses Pendidikan: Antara Harapan dan Realita

Oleh: Fitriyah Zakiyatul Hamidah, mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

SUARAMUDA.NET, SEMARANG— Kurikulum Merdeka hadir sebagai respons terhadap kebutuhan pendidikan abad ke-21—yakni dengan menekankan kreativitas, kolaborasi, literasi digital, pemecahan masalah, serta penguatan karakter.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) memperkenalkan kurikulum ini untuk memberi fleksibilitas kepada sekolah dan guru sehingga pembelajaran lebih kontekstual dan relevan dengan dinamika zaman (Kemendikbudristek, 2021).

Namun faktanya, transformasi pendidikan tidak berlangsung dalam situasi yang setara. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kemendikbudristek menunjukkan adanya ketimpangan antara daerah perkotaan dan daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) terutama dalam akses internet, infrastruktur sekolah, kompetensi guru, dan kemampuan ekonomi siswa (BPS, 2022; Kemendikbudristek, 2023).

Kondisi tersebut berdampak langsung terhadap pelaksanaan Kurikulum Merdeka yang belum dapat diterapkan secara merata di seluruh Indonesia.

Artikel ini bertujuan menjelaskan tantangan implementasi Kurikulum Merdeka, peluang yang ditawarkan, serta strategi pemerataan pelaksanaannya agar reformasi pendidikan dapat berjalan inklusif.

Tantangan Implementasi Kurikulum Merdeka

Melalui kesenjangan fasilitas dan infrastruktur, Kurikulum Merdeka menekankan pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) serta pemanfaatan sumber belajar digital.

Namun, hanya 48% sekolah di daerah 3T yang memiliki akses internet stabil (Kemendikbudristek, 2023). Sebaliknya, sekolah di wilayah perkotaan relatif telah memiliki sarana digital yang memadai (BPS, 2022).

Contohnya, ketika siswa diminta membuat video presentasi proyek atau mencari referensi digital, sebagian siswa di daerah terpencil tidak dapat mengerjakannya karena tidak memiliki perangkat atau akses internet.

Hal ini menunjukkan bahwa kesenjangan fasilitas masih menjadi hambatan utama terwujudnya kesetaraan kualitas pembelajaran.

Terkait kompetensi guru yang belum merata, guru memegang peranan besar dalam implementasi kurikulum tetapi banyak guru belum memahami profil pelajar Pancasila dan diferensiasi pembelajaran.

Dari 55% guru mengaku kesulitan menerapkan kurikulum ini (Balitbangdikbud, 2022). Bahkan pelatihan dan mentoring masih jarang menjangkau wilayah terpencil.

Seperti di sekolah pedesaan, sejumlah guru masih menggunakan metode ceramah karena belum terlatih menyusun modul pembelajaran berbasis proyek. Kondisi ini menegaskan bahwa inovasi kurikulum tidak akan optimal tanpa peningkatan kualitas sumber daya pendidik.

Hal ini dapat dilihat melalui kesenjangan ekonomi peserta didik bahwa kondisi ekonomi siswa mempengaruhi keberhasilan implementasi, seperti banyak siswa di pedesaan tidak memiliki perangkat digital. Pembelajaran daring setelah pandemi tidak merata kualitasnya. 30% siswa pedesaan kehilangan kesempatan belajar efektif (UNICEF Indonesia, 2022).

Sebagian siswa harus berbagi telepon seluler dengan orang tua sehingga tidak dapat mengikuti pembelajaran daring secara penuh. Dampaknya, terjadi ketimpangan capaian belajar antara siswa mampu dan siswa kurang mampu.

Selain itu, dukungan manajemen sekolah dan pemerintah daerah yang minim membuat implementasi kurikulum memerlukan tata kelola sekolah dan sinergi pemerintah daerah.

Namun, 40% kepala sekolah belum memahami sepenuhnya konsep Merdeka Belajar (SMERU, 2023). Selain itu, banyak sekolah belum terbiasa mengolah data digital hasil Asesmen Nasional (Pusat Asesmen Pendidikan, 2022), sehingga evaluasi mutu belajar belum maksimal.

Hal ini menjadi penghambat penyusunan program berbasis kurikulum secara menyeluruh. Meski kurikulum merdeka menuntut asesmen formatif dan holistik, tetapi kenyataannya sekolah masih fokus pada tes kognitif tradisional.

Belum siap menggunakan asesmen nasional sebagai evaluasi mutu. Banyak sekolah kesulitan mengolah data hasil belajar digital (Pusat Asesmen Pendidikan, 2022).

Kurikulum merdeka memberi ruang bagi guru untuk memilih metode dan materi sesuai konteks lokal. Sejumlah sekolah pedesaan mulai berhasil menjalankan proyek profil pelajar Pancasila berbasis budaya dan potensi daerah.

Sebagai kurikulum yang kontekstual dan berbasis kearifan lokal, Kurikulum Merdeka memungkinkan pembelajaran pertanian di Jawa Tengah, tema kelautan di Sulawesi dan Maluku, pelestarian batik dan tenun di berbagai daerah.

Penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis budaya meningkatkan keterlibatan
siswa (Kemendikbudristek, 2022).

Penguatan karakter dan keterampilan pada abad 21 membuat kurikulum merdeka menekankan peserta didik untuk berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, komunikasi, literasi digital, yang selaras dengan tuntutan global (OECD, 2021).

Selain itu, peran teknologi dalam memperluas akses dari platform digital seperti Merdeka Mengajar, Rumah Belajar, dan kanal edukasi berbasis komunitas menjadi sumber alternatif pembelajaran yang lebih merata (Kemendikbudristek, 2023).

Hal ini membuktikan bahwa Kurikulum Merdeka bukan masalah pada desainnya, melainkan pada disparitas dukungan dan akses.

Strategi Pemerataan Implementasi Kurikulum Merdeka

Pemerataan infrastruktur digital terutama di wilayah 3T harus menjadi prioritas nasional.
Pengadaan perangkat digital dan subsidi kuota bagi siswa kurang mampu menjadi langkah nyata mengurangi kesenjangan akses belajar.

Dengan akses kuota yang stabil, siswa dapat
mengikuti pembelajaran daring, mengerjakan proyek digital, dan menggunakan sumber belajar daring secara optimal.

Penguatan kompetensi guru harus dilakukan melalui pelatihan berkelanjutan yang berbasis mentoring. Pendekatan ini lebih efektif karena guru mendapatkan bimbingan langsung dalam merancang pembelajaran sesuai Kurikulum Merdeka.

Selain itu, mentoring mendorong guru untuk lebih reflektif dan adaptif terhadap konteks kelas mereka. Sertifikasi kompetensi Kurikulum Merdeka dapat menjadi salah satu instrumen penjamin mutu bagi para pendidik.

Melalui sertifikasi ini, guru akan memiliki standar kemampuan yang jelas dalam menerapkan pembelajaran berbasis proyek, asesmen formatif, dan diferensiasi. Upaya ini sekaligus dapat meningkatkan profesionalitas guru di berbagai jenjang sekolah.

Perluasan komunitas belajar digital memungkinkan guru bertukar praktik baik lintas daerah, dan juga berbagi pengalaman
dan solusi terhadap tantangan pembelajaran. Dengan jejaring yang kuat, guru tidak merasa
bekerja sendirian dan lebih mudah mengembangkan kapasitasnya.

Kolaborasi pemerintah, LSM, dan dunia usaha merupakan kunci pemerataan pelaksanaan Kurikulum Merdeka. Program CSR dari dunia usaha dapat diarahkan untuk penyediaan sarana digital seperti laboratorium komputer atau akses internet sekolah.

Sinergi semacam ini membantu mempercepat pemerataan fasilitas yang dibutuhkan sekolah. Kemitraan antara sekolah dan universitas dapat menjadi pusat pengembangan kapasitas guru maupun siswa.

Melalui kerja sama ini, sekolah dapat memperoleh akses pada riset, pelatihan, dan inovasi pembelajaran yang lebih mutakhir. Pendampingan akademik dari perguruan tinggi juga membantu sekolah meningkatkan kualitas perencanaan dan evaluasi pembelajaran.

Keterlibatan komunitas pendidikan lokal berperan penting dalam memperkuat ekosistem pembelajaran. Komunitas dapat menyediakan ruang kolaborasi, berbagi sumber daya, serta mendukung kegiatan berbasis proyek yang relevan dengan budaya setempat.

Ketika masyarakat terlibat aktif, implementasi Kurikulum Merdeka menjadi lebih kontekstual, berkelanjutan, dan dekat dengan kehidupan siswa.

Studi kasus yang dapat diangkat, antara lain Sekolah Penggerak Yogyakarta. Yakni dengan mengintegrasikan proyek budaya lokal (batik, sejarah keraton), meningkatkan kreativitas dan literasi siswa, kemudian dari sekolah di NTT menggunakan pendekatan kearifan lokal seperti konservasi air
dan budaya tenun untuk pembelajaran berbasis proyek, selanjutnya Program Guru Penggerak mendorong guru lebih reflektif, kreatif, dan berfokus pada kebutuhan siswa.

Simpulan dan Rekomendasi

Kurikulum Merdeka merupakan terobosan penting dalam upaya meningkatkan kualitas
pendidikan nasional, namun keberhasilannya masih dipengaruhi oleh ketimpangan infrastruktur, kompetensi guru, kesiapan manajemen sekolah, dan kondisi ekonomi peserta didik.

Untuk mewujudkan pendidikan yang benar-benar merdeka bagi semua, pemerintah perlu mempercepat pemerataan akses internet dan fasilitas digital, terutama di wilayah 3T, sekaligus memperkuat kompetensi guru melalui pelatihan intensif dan mentoring.

Sinergi antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, universitas, dan dunia usaha perlu diperluas untuk mendukung sekolah yang masih tertinggal. Selain itu, sistem asesmen perlu diperbarui agar lebih holistik dan mampu menilai aspek karakter, kreativitas, dan kemampuan kolaboratif siswa.

Partisipasi aktif masyarakat dan orang tua juga memegang peranan penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Dengan upaya kolektif dan berkelanjutan dari seluruh pemangku kepentingan, Kurikulum Merdeka dapat menjadi tonggak penting dalam membangun pendidikan yang inklusif, adaptif, dan berkeadilan bagi seluruh anak bangsa. (Red)

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like