
Oleh: Yohanes Soares*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Perang, yang sering kali digambarkan sebagai pertarungan kekuatan militer dan kepentingan politik, pada hakikatnya adalah tragedi kemanusiaan yang mendalam.
Ia bukan hanya merenggut nyawa, tetapi juga mencabik-cabik fondasi peradaban dan moralitas. Di balik laporan berita yang kering, terdapat penderitaan yang tak terperikan, kerugian yang tak bisa diukur, dan luka yang tak pernah sembuh.
Ketika Hak Hidup Sekadar Angka Statistik
Prinsip paling fundamental dari hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup, menjadi korban pertama dalam setiap konflik. Logika perang seolah membenarkan perampasan hak ini dari warga sipil yang tidak pernah memilih untuk menjadi bagian dari peperangan.
Anak-anak yang sedang bermain, perempuan yang melindungi keluarganya, dan lansia yang seharusnya menikmati masa tua, justru menjadi target paling rentan.
Setiap nyawa yang hilang bukan sekadar angka dalam statistik, melainkan sebuah dunia yang hancur, sebuah kisah yang terhenti, dan sebuah harapan yang padam.
Inilah wajah paling brutal dari perang: ketika kemanusiaan direduksi menjadi “kerugian yang dapat diterima” demi mencapai tujuan politik.
Hilangnya Masa Depan dan Jiwa yang Hancur
Dampak perang tidak berhenti pada kematian fisik. Bagi mereka yang selamat, perang meninggalkan luka psikologis yang dalam. Anak-anak yang menyaksikan kekerasan dan kehilangan orang tua tumbuh dengan trauma mendalam.
Mereka kehilangan masa kecil, hak untuk bermain dan belajar, dan yang terpenting, rasa aman. Perang mencetak generasi yang patah, yang akrab dengan ketakutan daripada harapan.
Jiwa yang hancur ini merupakan warisan terburuk dari konflik, yang akan memengaruhi masa depan sebuah bangsa dan terus menghantui mereka seumur hidup.
Identitas yang Terkubur di Bawah Reruntuhan
Perang meluluhlantakkan tidak hanya fisik, tetapi juga ruang sosial dan identitas sebuah komunitas. Rumah, sekolah, tempat ibadah, bahkan rumah sakit, yang seharusnya menjadi tempat paling aman, berubah menjadi target serangan.
Hancurnya ruang-ruang ini berarti hancurnya jaringan sosial yang menyatukan masyarakat. Identitas budaya, sejarah, dan komunitas terkubur di bawah reruntuhan.
Masyarakat kehilangan akar dan rasa kepemilikan, membuat mereka menjadi pengungsi di tanah mereka sendiri, atau terpaksa mengembara tanpa tempat untuk kembali.
Keadilan yang Terkikis dan Kegagalan Global
Pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional menjadi pemandangan umum dalam perang modern.
Prinsip perlindungan non-kombatan sering diabaikan, dan serangan terhadap fasilitas sipil, seperti rumah sakit dan sekolah, menjadi hal yang lumrah. Krisis kemanusiaan diperparah dengan blokade bantuan makanan, obat-obatan, dan kebutuhan dasar lainnya.
Ironisnya, komunitas internasional sering kali gagal bertindak efektif. Banyak resolusi dan kecaman dikeluarkan, tetapi minim tindakan nyata untuk menghentikan penderitaan.
Ada standar ganda yang mencolok, di mana pelanggaran yang dilakukan oleh pihak tertentu dikecam keras, sementara pelanggaran lain diabaikan karena alasan politik.
Ini menimbulkan pertanyaan fundamental: apakah nilai kemanusiaan hanya berlaku untuk sebagian bangsa?
Tanggung Jawab Moral untuk Menegakkan Kemanusiaan
Perang adalah pengingat keras akan kegagalan moral kolektif kita. Semua pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat sipil, hingga lembaga internasional, memiliki tanggung jawab moral dan etika untuk menempatkan kemanusiaan di atas kepentingan politik atau ekonomi.
Perdamaian sejati tidak akan pernah lahir dari dominasi militer, melainkan dari keadilan, empati, dan penghormatan terhadap martabat setiap manusia.
Kita tidak bisa membiarkan diri kita menjadi mati rasa terhadap penderitaan yang terjadi di belahan dunia lain.
Setiap tragedi kemanusiaan adalah cermin bagi moralitas kita bersama. Apakah kita akan membiarkan logika perang terus berkuasa, atau kita akan berani berdiri teguh demi nilai-nilai kemanusiaan yang universal? (Red)
*) Yohanes Soares, aktivis sosial dan peneliti kebijakan pendidikan dan masyarakat daerah tertinggal; mahasiswa S3 Universitas Dr. Soetomo Surabaya