
Oleh: Anugrah Alqadri*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah instrumen vital untuk menggerakkan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun, APBD sering kali dipandang hanya sebagai tabel angka, tanpa menyadari filosofi dasarnya: uang negara adalah uang rakyat. Pertanyaannya, apakah APBD benar-benar kembali kepada rakyat atau justru lebih banyak habis untuk menghidupi birokrasi?
Pertanyaan itu menemukan jawabannya ketika kita mencermati Peraturan Bupati Jeneponto No. 1 Tahun 2025, yang merupakan perubahan atas Perbup No. 62 Tahun 2024 tentang penjabaran APBD 2025.
Dari dokumen resmi itu, terlihat jelas bahwa belanja pegawai mencapai Rp573,6 miliar. Angka ini setara dengan lebih dari separuh belanja operasi, dan menempatkan pegawai negeri sebagai pihak paling dominan dalam struktur APBD Jeneponto 2025.Tidak ada yang salah dengan membayar gaji pegawai.
ASN, DPRD, hingga pejabat daerah memang berhak atas kesejahteraan. Namun, yang patut dipersoalkan adalah proporsinya. Jika lebih dari setengah anggaran hanya untuk membiayai birokrasi, maka ruang fiskal untuk pembangunan publik otomatis menyempit.
Padahal, kebutuhan rakyat begitu mendesak. Jalan rusak masih banyak, sekolah masih kekurangan sarana, layanan kesehatan masih terbatas, dan angka kemiskinan relatif tinggi.
Ironisnya, di tengah kebutuhan itu, pemerintah daerah justru mengalokasikan porsi terbesar APBD untuk kenyamanan birokrasi.
Besarnya belanja pegawai seharusnya tercermin dalam peningkatan kualitas pelayanan publik. Namun, kenyataannya masyarakat Jeneponto masih sering menghadapi birokrasi yang lamban, pelayanan yang berbelit, dan digitalisasi yang minim.
Artinya, belanja besar tidak berbanding lurus dengan hasil nyata. Rakyat membayar pajak, tetapi yang mereka dapat hanyalah sistem birokrasi yang menguras waktu dan tenaga. Dalam perspektif keadilan fiskal, kondisi ini problematis.
Lebih jauh, Perbup No. 1 Tahun 2025 juga menunjukkan adanya pergeseran anggaran. Belanja Tidak Terduga (BTT) yang semula Rp12,58 miliar dipangkas Rp761 juta, kemudian dialihkan ke belanja operasi.
Secara hukum, ini sah sesuai PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Namun, dari sisi kebijakan, langkah ini rawan kritik.
BTT adalah pos penting untuk merespons keadaan darurat, seperti bencana alam atau krisis kesehatan. Mengurangi pos darurat demi memperbesar belanja rutin jelas mempersempit fleksibilitas fiskal daerah dalam menghadapi kejadian tak terduga.
Simulasi sederhana menunjukkan: jika belanja pegawai ditekan hanya 5–10%, maka Jeneponto bisa menambah ruang fiskal Rp28–57 miliar.
Dana sebesar ini dapat dialihkan untuk membangun sekolah baru, memperbaiki jalan desa, menambah puskesmas, atau memperluas akses air bersih.
Namun, kesempatan itu hilang. Pemerintah daerah memilih status quo: mempertahankan dominasi belanja pegawai, sementara pembangunan publik hanya kebagian sisa.
Kondisi ini menunjukkan APBD Jeneponto masih berorientasi konsumtif. Anggaran lebih banyak dipakai untuk “membayar gaji” ketimbang menghasilkan dampak pembangunan yang produktif.
Akibatnya, APBD yang seharusnya menjadi instrumen pertumbuhan, justru menjadi instrumen pemeliharaan birokrasi.
Jika pola ini berlanjut, Jeneponto berisiko terjebak dalam lingkaran setan: belanja pegawai terus membengkak, ruang pembangunan semakin kecil, dan kualitas hidup masyarakat stagnan.
APBD bukan hak eksklusif aparatur. Ia adalah amanah konstitusi untuk meningkatkan kesejahteraan umum.
Karena itu, wajar jika publik mempertanyakan: mengapa sekolah rusak tetap dibiarkan? Mengapa jalan berlubang tidak segera diperbaiki? Dan mengapa layanan kesehatan minim fasilitas?
Padahal, ratusan miliar rupiah digelontorkan setiap tahun hanya untuk belanja pegawai. Perbup No. 1 Tahun 2025 sah secara hukum. Ia disusun sesuai PP No. 12 Tahun 2019, Permendagri No. 77 Tahun 2020, dan Perda APBD Jeneponto.
Namun, sah secara hukum bukan berarti adil secara sosial. Legalitas tidak otomatis berarti legitimasi. APBD Jeneponto 2025 memperlihatkan jurang antara kepentingan birokrasi dan kepentingan rakyat.
Jika pemerintah daerah tidak berani melakukan terobosan untuk menekan belanja pegawai dan memperbesar porsi pembangunan, maka APBD hanya akan menjadi “APBD untuk pegawai” – bukan “APBD untuk rakyat”.
Pertanyaan kritis pun menggema: sampai kapan rakyat hanya mendapat sisa dari anggaran daerahnya sendiri? (Red)
*) Anugrah Alqadri, Pemerhati Kebijakan Publik