
Oleh: Gorgonius Darsan*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Di era media sosial, hidup seakan berubah menjadi sebuah pertunjukan. Hampir setiap saat orang sibuk mengabadikan momen, membagikan cerita, hingga memamerkan pencapaian.
Seolah tanpa itu semua, keberadaan mereka tidak sah atau kurang bernilai. Fenomena ini tidak lepas dari dua hal: FOMO (fear of missing out) dan apa yang bisa disebut sebagai “kecanduan eksistensi”, yakni kebutuhan konstan untuk dilihat, diakui, dan dikomentari orang lain.
FOMO: Ketakutan Akan Tertinggal
FOMO membuat kita terus-menerus memantau kehidupan orang lain, lalu membandingkannya dengan hidup sendiri.
Saat melihat teman atau kerabat pergi liburan, membeli barang mewah, atau tampil bahagia, kita merasa hidup kita membosankan dan tertinggal.
Padahal, yang mereka tampilkan seringkali hanyalah potongan kebahagiaan—bukan gambaran utuh keseharian mereka.
Masalahnya, FOMO tidak hanya mengikis rasa syukur, tetapi juga mendorong kita bertindak bukan karena keinginan tulus, melainkan karena takut terlihat ketinggalan zaman.
Akhirnya, hidup kita lebih banyak diatur oleh “apa kata orang” ketimbang oleh kebutuhan dan keinginan sejati.
Kecanduan Eksistensi: Validasi dari Orang Lain
Selain FOMO, masyarakat modern juga terjebak dalam kecanduan eksistensi. “Like”, komentar, dan jumlah share di media sosial sering dijadikan ukuran harga diri.
Tidak jarang, orang rela menghabiskan waktu berjam-jam mengedit foto, menulis caption yang terkesan mendalam, atau bahkan memalsukan gaya hidup hanya demi pengakuan dari orang lain.
Ketika kebahagiaan sepenuhnya bergantung pada reaksi orang lain, kita justru kehilangan kendali atas diri sendiri.
Lalu muncul kegelisahan: Apa yang orang pikirkan tentang aku? Kenapa postinganku sepi “like”? Haruskah aku ikut tren agar tidak dibilang kudet?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini kemudian membuat kita semakin terikat pada panggung semu media sosial.
Jalan Keluar: Menjadi Pemain Utama dalam Hidup Sendiri
Untuk keluar dari jerat ini, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, sadari bahwa media sosial bukanlah realitas utuh. Yang ditampilkan hanyalah highlight momen terbaik, bukan keseluruhan hidup.
Kedua, fokus pada makna, bukan penampilan. Lakukan sesuatu karena memang kamu menikmatinya, bukan demi pujian. Ketiga, batasi penggunaan media sosial. Sesekali lakukan “detoks” digital. Hidup tetap berharga walau tidak selalu diunggah.
Keempat, temukan validasi dari diri sendiri. Bangun rasa percaya diri dari pencapaian nyata, hubungan yang sehat, atau kepuasan sederhana atas apa yang sudah dimiliki.
FOMO dan kecanduan eksistensi adalah produk dunia yang terlalu terhubung secara digital, namun kerap terputus secara emosional.
Kita sering lupa bahwa hidup bukanlah pertunjukan, dan nilai diri tidak diukur dari jumlah penonton atau seberapa sering dilihat orang.
Mungkin sudah saatnya berhenti menjadi pemeran tambahan dalam hidup orang lain, dan mulai menjadi pemeran utama dalam hidup sendiri—tanpa panggung, tanpa “like”, tanpa audiens. (Red)
*) Gorgonius Darsan, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika, Unika St. Paulus Ruteng