Aksi 28 Agustus: Saat Rakyat Minta Dialog, Negara Menjawab dengan Gas dan Peluru Karet

POV: aksi demonstrasi 25 Agustus. (Tangkapan layar dari video euronews)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Ada yang getir dari aksi 28 Agustus 2025. Ribuan buruh memenuhi jalanan Jakarta, menyuarakan tuntutan yang sederhana tapi fundamental: hapus outsourcing, naikkan upah minimum, dan sederhanakan pajak agar rakyat kecil tidak terus jadi tumbal.

Namun, alih-alih ruang dialog, yang mereka terima justru gas air mata, water cannon, dan teror aparat bersenjata lengkap. Apakah ini wajah demokrasi yang kita banggakan?

Kita patut bertanya, mengapa negara lebih sigap mengerahkan pasukan daripada menurunkan negosiator? Mengapa suara rakyat yang jelas-jelas konstitusional selalu dicurigai, dianggap ancaman, lalu dipukul mundur dengan cara represif?

Negara tampak paranoid pada warganya sendiri. Dan tragedi pun lahir. Seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, tewas terlindas kendaraan taktis Brimob.

Ia bukan buruh yang berorasi, bukan mahasiswa yang melempar botol. Ia hanyalah rakyat kecil yang kebetulan berada di pusaran konflik. Nyawa rakyat kembali jadi collateral damage atas kegagapan negara mengelola demokrasi.

Kekerasan ini memperlihatkan pola lama yang terus diulang. Ketika rakyat bicara, negara menutup telinga. Ketika rakyat bersuara lebih keras, negara menutup jalan.

Dan ketika rakyat menolak diam, negara mengerahkan kekuatan bersenjata. Demokrasi berubah jadi monumen retoris yang hanya indah di pidato, tetapi rapuh di lapangan.

Tuntutan buruh sebenarnya jelas, terukur, dan realistis. Mereka tidak bicara soal revolusi politik, melainkan perut. Mereka bicara soal gaji yang tidak cukup untuk membayar kontrakan, soal outsourcing yang membuat pekerja hanya jadi roda sekali pakai, soal pajak yang lebih berat di pundak rakyat kecil ketimbang elit korporasi.

Bukankah ini seharusnya jadi prioritas negara? Ironisnya, Presiden saat itu justru menghadiri acara lain, seolah demonstrasi puluhan ribu rakyat di depan DPR hanyalah lalu lintas biasa yang bisa diatasi dengan rekayasa jalan. Ini bukan sekadar kelalaian protokoler. Ini sinyal bahwa negara makin jauh dari denyut rakyatnya.

Kita tahu, aksi ini akan segera diberi label: anarkis, ditunggangi, meresahkan. Itu narasi klasik yang selalu dipakai untuk mendeligitimasi gerakan rakyat. Padahal, kekerasan justru dipicu oleh aparat yang gagal menjaga aksi tetap damai. Menyalahkan buruh dan mahasiswa tanpa mengakui represi aparat hanyalah cara licik untuk cuci tangan.

Pertanyaan mendasar: sampai kapan negara membangun demokrasi dengan gas air mata? Sampai kapan nyawa rakyat dianggap murah? Jika pemerintah terus menutup mata, maka aksi 28 Agustus bukanlah akhir, melainkan permulaan.

Buruh, mahasiswa, dan rakyat kecil akan kembali turun ke jalan, karena perut tidak bisa dipaksa kompromi. Dan ketika rakyat semakin tidak percaya pada negara, maka yang runtuh bukan sekadar legitimasi pemerintah, melainkan fondasi demokrasi itu sendiri.

Aksi 28 Agustus adalah ujian. Apakah kita punya pemimpin yang berani mendengar, atau sekadar penguasa yang hanya tahu menekan? Satu hal pasti: demokrasi tidak bisa hidup di negara yang lebih cepat menembakkan gas daripada membuka dialog. (Red)

Penulis: Yohanes Soares

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like