Jerat Krisis Masyarakat Kelas Menengah Perkotaan

Encik Ryan Pradana Fekri, ST.,M.PWK., praktisi di bidang Perencanaan Wilayah dan Kota, pengajar pada Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Nasional Bandung serta anggota aktif dari Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia.

Oleh: Encik Ryan Pradana Fekri*)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Di tengah gedung-gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan megah, tersembunyi sebuah krisis yang perlahan menggerogoti fondasi ekonomi perkotaan Indonesia.

Kelas menengah perkotaan, yang selama puluhan tahun menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial, kini berada di ujung tanduk.

Kelompok yang seharusnya menjadi penggerak roda ekonomi ini justru semakin terdesak ke jurang kemiskinan karena biaya hidup atau beban finansial yang melonjak namun tidak sebanding dengan pendapatan, sulitnya mencari lapangan kerja, dan ketidakstabilan keadaan ekonomi saat ini.

Situasi ini menjadi ironi besar bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Kelas menengah perkotaan yang seharusnya menjadi indikator kemajuan suatu negara justru menjadi korban pertama dari ketidakstabilan ekonomi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa tingkat pengangguran terbuka di perkotaan mencapai 5,73% pada Februari 2025, dan yang lebih mengkhawatirkan data BPS juga menunjukkan sekitar 59,40% pekerja di perkotaan kini bekerja di sektor informal dengan penghasilan tidak tetap dan tanpa jaminan sosial.

Fenomena ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada tiga faktor utama yang mendorong degradasi kelas menengah perkotaan. Pertama, transformasi struktural ekonomi yang tidak diimbangi dengan penciptaan maupun penyediaan lapangan kerja yang memadai.

Kedua, beban biaya hidup yang tidak sebanding dengan pendapatan. Ketiga, dampak dari kebijakan efisiensi saat ini dan ketidakpastian ekonomi global yang berdampak pada pasar tenaga kerja.

Kombinasi ketiga faktor ini menciptakan badai sempurna yang mengancam keberlangsungan hidup kelas menengah.

Masalah mendasar yang dihadapi kelas menengah perkotaan saat ini adalah menyempitnya lapangan kerja formal. Industri manufaktur yang menjadi penopang penyerapan tenaga kerja terdidik justru menunjukkan tanda-tanda stagnasi.

Suasana di kehidupan kota. (Dok Pribadi)

Banyak perusahaan multinasional yang mengurangi operasinya di Indonesia, sementara perusahaan lokal kesulitan bersaing di pasar global. Sektor teknologi yang diharapkan dapat mendongkrak lapangan kerja justru mengalami perlambatan, membuat banyak startup membatasi rekrutmen bahkan mengurangi skala bisnis.

Tingginya persaingan di pasar tenaga kerja ditambah minimnya lapangan kerja baru membuat banyak pekerja kelas menengah kesulitan meningkatkan pendapatan, sementara biaya hidup terus melonjak.

Dampak dari situasi ini sangat terasa pada kehidupan sehari-hari keluarga kelas menengah. Banyak yang terpaksa mengurangi konsumsi, menunda pembelian barang-barang tahan lama, bahkan meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengatasi masalah ini, mulai dari Program Keluarga Harapan (PKH) hingga Bantuan Langsung Tunai (BLT). Namun, upaya tersebut masih bersifat temporer dan tidak menyentuh akar masalah.

Yang dibutuhkan saat ini adalah strategi komprehensif yang mencakup penciptaan lapangan kerja berkualitas serta mampu menyerap banyak tenaga kerja, perlindungan sosial yang lebih baik agar dapat menjadi jaring pengaman kondisi sosial maupun ekonomi masyarakat, dan reformasi sistem pendidikan yang lebih sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.

Jika kondisi ini tidak segera diatasi, Indonesia berisiko mengalami middle-class squeeze, di mana kelompok menengah terdegradasi menjadi kelompok miskin baru. Pemerintah harus memperkuat program perlindungan sosial, meningkatkan pelatihan vokasi, dan mendorong investasi padat karya.

Fenomena middle-class squeeze terjadi ketika kelompok menengah terjepit secara ekonomi akibat stagnasi pendapatan yang tidak sebanding dengan kebutuhan biaya hidup.

Mereka terpaksa mengandalkan tabungan atau beralih ke pekerjaan informal dengan upah rendah dan lambat laun terdegradasi menjadi kelompok near-poor (hampir miskin).

Dampak paling nyata dari middle-class squeeze ini adalah terkikisnya kemampuan menabung. Tabungan bagi kelas menengah, bukan hanya dana darurat tetapi juga modal untuk investasi pendidikan anak, modal usaha, atau kepemilikan properti.

Ketika pendapatan habis untuk memenuhi kebutuhan pokok, impian untuk naik ke strata sosial yang lebih tinggi pun menguap. Generasi berikutnya terancam terjebak dalam siklus yang sama, dimana akses pendidikan bermutu semakin sulit didapat akibat tekanan finansial yang dihadapi orang tua.

Lulusan perguruan tinggi pun kini tidak lagi menjadi jaminan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, sehingga menimbulkan frustasi dan kekecawaan mendalam.

Lebih lanjut, kondisi ini dapat memicu efek domino pada sendi-sendi ekonomi yang lebih luas. Daya beli kelas menengah yang melemah secara signifikan mengurangi permintaan terhadap barang dan jasa non-primer.

Sektor ritel, properti, otomotif, dan industri hiburan mulai merasakan dampak penurunan konsumsi. Hal ini menyebabkan terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) baru, menciptakan siklus negatif yang semakin memperburuk keadaan perekonomian masyarakat.

Kelas menengah perkotaan Indonesia saat ini sedang menghadapi ujian berat. Tanpa intervensi kebijakan yang tepat, mereka berisiko terperosok ke dalam jurang kemiskinan dan merupakan sebuah kemunduran besar bagi perekonomian nasional.

Pada akhirnya, penyelamatan kelas menengah perkotaan bukan sekadar tentang melindungi satu kelompok demografis, melainkan upaya strategis untuk mempertahankan fondasi ekonomi Indonesia yang telah dibangun dengan susah payah.

Kelas menengah merupakan kelompok sosial ekonomi terbesar di Indonesia menjadi penggerak utama konsumsi domestik dan penyumbang pajak terbesar.

Jika kelompok ini terus terdesak ke jurang kemiskinan, negara tidak hanya kehilangan mesin penggerak ekonomi, tetapi juga berisiko mengalami stagnasi pembangunan dan meningkatnya ketimpangan sosial.

Krisis kelas menengah adalah ujian nyata bagi komitmen terhadap target peningkatan pertumbuhan ekonomi yang digaungkan pemerintah.

Perlu adanya upaya pembenahan sistematis yang harus dilakukan secara tepat sasaran dan berdampak besar terhadap perbaikan kondisi saat ini karena akan menentukan masa depan perekonomian Indonesia. (Red)

*) Encik Ryan Pradana Fekri, ST.,M.PWK., praktisi di bidang Perencanaan Wilayah dan Kota, pengajar pada Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Nasional Bandung serta anggota aktif dari Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia.

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like