Oleh: Mario Oktavianus Magul *)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Setiap orang tentu memiliki tujuan hidupnya masing-masing. Ada begitu banyak hal yang dapat menjadi tujuan atau “goal” dari seluruh tapak peziarahan mereka sebagai manusia.
Kendati tujuan itu beragam dan bersifat kompleks, semuanya tentu akan tetap bermuara pada satu nilai yang sama, yakni kebahagiaan.
Banyak realitas manusiawi seperti kekayaan, kesehatan, dan ketenangan hidup dianggap sebagai jalan menuju kebahagiaan. Namun, memaknai kebahagiaan tidak semudah kelihatannya, sebab perspektif tentangnya sangat beragam.
Psikologi melihat kebahagiaan sebagai dominasi emosi positif dan kepuasan masa lalu. Filsafat Stoa, sebaliknya, mendefinisikan kebahagiaan sebagai kebebasan dari emosi negatif (pathos), yang terdiri dari empat: keinginan (epithumia), ketakutan (phobos), kesenangan (hedoni), dan kesedihan.
Senada dengan hal itu, kita tak dapat memungkiri bahwa realitas dunia dewasa ini telah menyuguhkan kepada kita suatu potret buram yang cukup meresahkan. Pasalnya, potret itu memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai keterjebakan manusia dalam emosi-emosi yang tak terkontrol.
Laporan State of Gen Z Mental Health (2022) menyebut 42% Gen Z mengalami gangguan mental. Data Perhimpunan Dokter Spesialis Kejiwaan Indonesia (PDSKJI) juga menunjukkan adanya peningkatan depresi di Indonesia selama tiga tahun terakhir, mulai dari 69% tahun 2020, 72% tahun 2021, dan meningkat menjadi 84% tahun 2022.
Salah satu faktor utama penyebab kondisi ini adalah ketidakmampuan manusia dalam mengendalikan emosi. Persis, realitas semacam inilah yang membuat filsafat Stoa menjadi relevan, karena menawarkan perspektif yang berbeda dalam mencapai kebahagiaan, khususnya melalui konsep dikotomi kendali dari Epictetus.
Kebahagiaan Up to Us
Stoisisme mengajarkan bahwa kebahagiaan bergantung pada kemampuan manusia mengendalikan hal-hal yang berada dalam kendalinya (Up to Us), serta menerima hal-hal yang tidak dapat dikendalikan (Not Up to Us).
Fokus pembahasan ini mencakup tiga aspek utama yang berada dalam kendali kita, yakni (1) pikiran dan keyakinan, (2) tindakan dan keputusan, dan (3) usaha dan komitmen.
Pertama, pikiran dan keyakinan. Kita memiliki kuasa penuh atas pikiran dan keyakinan kita. Ketika kita diperhadapkan pada pelbagai tantangan, kita bisa memilih untuk menafsirkannya secara positif.
Pengendalian pikiran semacam ini sesungguhnya dapat membantu kita dalam menemukan nilai kebahagiaan di tengah penderitaan. Tatkala kita mampu mengelola cara pandang dengan suatu kesadaran penuh, bahkan dalam realitas yang sulit sekalipun, maka dengan sendirinya hal itu dapat menjadi ruang pertumbuhan yang membahagiakan.
Kedua, tindakan dan keputusan. Setiap tindakan dan keputusan yang kita ambil sejatinya adalah bentuk kelanjutan dari pikiran yang kita kendalikan. Dalam tekanan eksternal sekalipun, kita tetap menjadi agen utama dalam bertindak.
Dengan menyadari bahwa kendali penuh ada pada kita, kita bisa bertanggung jawab atas hasilnya, termasuk ketika hasil tersebut tidak sesuai harapan. Kebahagiaan pun dapat hadir dari keputusan yang diambil dengan kesadaran dan pertimbangan matang.
Ketiga, usaha dan komitmen. Perlu disadari bahwa usaha dan komitmen kita terhadap tujuan hidup sepenuhnya berada dalam kendali kita. Keduanya menghadirkan rasa pencapaian yang mendalam.
Dengan memfokuskan perhatian pada proses – bukan hasil – kebahagiaan dapat dirasakan melalui makna dan nilai yang ditemukan di sepanjang perjalanan.
Kebahagiaan ‘Not Up to Us’
Terlepas dari aspek-aspek yang sepenuhnya ada di dalam kendali kita, ada pula beberapa aspek lain yang berada di luar kendali kita.
Aspek-aspek itu biasanya mencakup semua faktor eksternal yang tidak dapat kita ubah atau pengaruhi secara langsung, seperti persepsi (penilaian) orang lain, kondisi eksternal (kekayaan, kesehatan, cuaca, dan lainnya), masa lalu atau masa depan, dan pelbagai aspek lainnya.
Dengan demikian, kita perlu menyadari dengan baik bahwa mencoba untuk mengendalikan pelbagai aspek ini sejatinya hanya akan menyebabkan frustrasi dan stress yang berkepanjangan.
Sebab, kita tidak memiliki kekuatan untuk mengubahnya. Berikut ini adalah uraian singkat dari beberapa aspek penting yang berada di luar kendali kita.
Pertama, persepsi dan penilaian orang lain. Kita tidak memiliki kuasa atas pikiran dan persepsi orang lain. Terikat pada harapan atau ekspektasi mereka sejatinya hanya akan memicu kekecewaan.
Dengan menerima bahwa penilaian orang lain adalah aspek di luar kendali, kita bisa menjaga integritas diri dan ketenangan batin, serta mengurangi kecemasan.
Kedua, masa lalu dan masa depan. Sebuah adagium kuno mengatakan “masa lalu tak bisa diubah dan masa depan tidaklah pasti”. Kendati kita dapat merencanakan masa depan, banyak faktor di luar kendali tetap akan memengaruhinya.
Terlalu fokus pada penyesalan masa lalu atau kekhawatiran akan masa depan hanya akan memunculkan emosi negatif. Oleh karena itu, penting untuk fokus pada masa kini – pada hal-hal yang dapat kita kendalikan sekarang.
Penutup
Kebahagiaan adalah bagian integral dari hidup manusia. Banyak manfaat dikaitkan dengannya: peningkatan kesehatan, produktivitas, dan relasi sosial. Namun, filsafat Stoa menghadirkan pendekatan yang sedikit berbeda. Kebahagiaan menurut Stoa bergantung pada sejauh mana kita menguasai hal-hal yang berada di dalam kendali kita, dan bukan sebaliknya.
Epictetus, melalui konsep dikotomi kendali, menegaskan bahwa kebahagiaan lahir dari bagaimana kita mengelola pikiran, tindakan, dan komitmen kita, bukan dari mengubah hal-hal eksternal.
Oleh karena itu, untuk meraih kebahagiaan sejati, kita perlu memusatkan perhatian pada aspek internal yang dapat kita kendalikan, serta melepaskan keterikatan terhadap aspek eksternal yang tak dapat kita ubah.
Sebab, hanya melalui hal semacam inilah kita dapat bergerak maju – menghampiri kebahagiaan yang sesungguhnya. (Red)
*) Mario Oktavianus Magul, Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta