
Oleh: Yohanes Soares*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Kisah pilu balita bernama Raya, yang wafat akibat komplikasi infestasi cacing di Sukabumi, bukan sekadar berita duka.
Ini adalah otopsi sosial dan medis yang membongkar lapisan-lapisan kegagalan sistematis di balik sebuah tragedi. Dari narasi yang viral di media sosial hingga respons cepat pemerintah, kasus ini menyingkap celah yang menganga dalam sistem perlindungan kesehatan dan sosial kita.
Kronologi Tragis yang Mengguncang
Raya, balita berusia sekitar 3-4 tahun dari Kabandungan, Sukabumi, dilarikan ke RSUD Sekarwangi pada 13 Juli 2025 dalam keadaan koma. Selama perawatan, laporan dari para relawan mengungkap pemandangan mengerikan: cacing hidup keluar dari hidung, mulut, anus, dan alat kelaminnya.
Ia akhirnya mengembuskan napas terakhir pada 22 Juli 2025. Namun, kasus ini baru menjadi sorotan publik secara luas setelah unggahan relawan pada 19-20 Agustus, yang sontak memicu gelombang keprihatinan nasional.
Laporan-laporan awal menyebutkan bahwa keluarga Raya hidup dalam kemiskinan ekstrem. Ayahnya sakit-sakitan, ibunya diduga memiliki gangguan jiwa, dan yang paling krusial, Raya tidak memiliki dokumen identitas.
Ketiadaan dokumen ini membuat aksesnya ke BPJS tersendat di saat-saat kritis. Para relawan berjuang mengurus administrasi yang dilempar dari satu dinas ke dinas lain, sementara kondisi Raya terus memburuk. Tragedi ini menjadi bukti nyata bahwa birokrasi yang lamban bisa berakibat fatal.
Diagnosis Medis: Bukan Sihir, Melainkan Parasit yang Mematikan
Secara medis, kondisi yang dialami Raya sangat konsisten dengan askariasis berat (Ascaris lumbricoides). Ini adalah infeksi parasit yang disebabkan oleh cacing gelang.
Pada kasus infestasi masif seperti yang dialami Raya, cacing-cacing dewasa bermigrasi dari usus ke organ lain, seperti saluran empedu, pankreas, atau bahkan saluran napas, hingga keluar melalui lubang-lubang tubuh.
Siklus hidup Ascaris berawal dari telur yang termakan atau terminum, menetas di usus, lalu larvanya bermigrasi melalui aliran darah ke paru-paru sebelum akhirnya naik ke tenggorokan dan tertelan kembali untuk menjadi cacing dewasa di usus.
Lingkungan dengan sanitasi buruk, air bersih minim, dan kebersihan tangan yang rendah adalah kondisi ideal bagi siklus ini untuk terus berulang.
Komplikasi yang ditimbulkan oleh beban cacing yang masif bisa sangat mematikan. Selain sumbatan usus, perforasi, dan perdarahan, cacing ini juga mencuri nutrisi, menyebabkan malnutrisi berat, anemia, dan melemahkan daya tahan tubuh.
Dalam kasus Raya, dokter bahkan menduga adanya ko-infeksi TBC yang memperburuk kondisinya. Tragedi ini menegaskan bahwa masalah parasit tidak bisa dipandang remeh, terutama pada anak-anak yang hidup dalam kondisi rentan.
Autopsi Sosial: Mengapa Sistem Gagal?
Kematian Raya adalah puncak gunung es dari kegagalan sistematis yang terjadi di berbagai level.
• Kemiskinan Multidimensi: Keluarga Raya hidup di lingkungan yang sangat berisiko. Rumah papan di atas tanah, paparan feses hewan dan manusia, serta minimnya akses air bersih dan jamban layak adalah faktor-faktor yang menciptakan kondisi ideal bagi penyebaran soil-transmitted helminths. Kemiskinan bukan hanya soal kurangnya uang, melainkan juga absennya akses terhadap lingkungan yang sehat.
• Celah pada Layanan Dasar: Meskipun ada Posyandu dan bidan desa, kasus Raya menunjukkan bahwa keberadaan program tidak selalu menjamin hasilnya. Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) cacing sering kali gagal menjangkau kelompok yang paling sulit diakses, anak tanpa identitas, keluarga dengan orang tua yang mengalami gangguan jiwa, atau rumah tangga yang terpencil.
• Hambatan Administrasi: Ketiadaan NIK dan BPJS menjadi “bottleneck” klasik yang mematikan. Penundaan akses pembiayaan di saat-saat genting meningkatkan risiko mortalitas. Ini bukan sekadar masalah individu, melainkan kegagalan sistem yang tidak memiliki mekanisme “krisis dulu, kertas belakangan” yang efektif.
• Ketergantungan pada “Viral” sebagai Alarm: Respons cepat dari berbagai otoritas, mulai dari Kemensos hingga Gubernur Jawa Barat, hanya muncul setelah kasus ini viral.
Ketergantungan pada viralisasi sebagai alarm kebijakan sangat berbahaya, sebab banyak kasus serupa yang tidak sempat terekspos dan berakhir tanpa solusi.
Pelajaran dan Langkah Konkret untuk Perbaikan
Kisah Raya menuntut kita untuk bertindak, tidak hanya berduka. Ada beberapa langkah konkret yang dapat diambil untuk mencegah tragedi serupa di masa depan:
1. Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) dan Layanan yang Proaktif: Program POPM cacing harus dijalankan secara proaktif, menjangkau kantong-kantong kemiskinan dan populasi tanpa identitas. Pemberian obat cacing secara berkala, terintegrasi dengan vitamin A dan layanan Posyandu, harus menjadi prioritas.
2. Intervensi WASH (Water, Sanitation, Hygiene): Program obat tanpa perbaikan sanitasi hanya akan menunda tragedi. Investasi dalam penyediaan jamban sehat, air minum aman, dan edukasi cuci tangan adalah kunci untuk memutus siklus penyebaran parasit.
3. Reformasi Sistem Administrasi Kependudukan: Saat terjadi kondisi darurat, mekanisme penjaminan sementara harus diaktifkan tanpa menunggu dokumen rampung. Kolaborasi data antara Posyandu, Dinas Sosial, Dukcapil, dan Puskesmas harus terintegrasi untuk mendeteksi anak-anak rentan.
4. Mekanisme Deteksi Dini: Puskesmas harus memiliki unit “Respons Cepat Balita Berisiko” yang bertugas mendata dan memantau anak-anak tanpa identitas atau dari keluarga dengan orang tua berisiko.
5. Pelatihan dan Pengawasan Kader: Kader Posyandu perlu diberikan pelatihan ulang untuk mendeteksi tanda-tanda awal cacingan atau gizi buruk, serta mekanisme rujukan cepat yang efektif.
6. Komunikasi Risiko yang Beretika: Media dan publik harus didorong untuk melaporkan kasus serupa tanpa mengeksploitasi privasi korban. Fokus harus beralih dari sensasionalisme “tubuh penuh cacing” ke solusi sistemik yang dapat mencegahnya.
Penutup: Cermin Kegagalan Kolektif
Kematian Raya bukan anomali. Ia adalah cermin dari kegagalan kolektif yang terjadi di tingkat mikro dan makro dari sanitasi lingkungan yang buruk hingga birokrasi yang lamban.
Kita tahu apa yang harus dilakukan: memperkuat program POPM, memastikan sanitasi yang layak, mereformasi sistem administrasi, dan membangun mekanisme deteksi dini yang tidak bergantung pada viralisasi media sosial.
Tragedi ini mengingatkan kita bahwa tugas sistem adalah mendeteksi dan mencegah sebelum bencana terjadi. Kasus Raya harus menjadi titik balik, bukan hanya untuk berduka, tetapi untuk bertindak, dimulai dari rumah-rumah paling rentan yang kini menanti uluran tangan sistem yang lebih manusiawi. (Red)
*) Yohanes Soares, aktivis sosial dan peneliti kebijakan pendidikan dan masyarakat daerah tertinggal; mahasiswa S3 Universitas Dr. Soetomo Surabaya