Tanahmu, Katanya, Milik Negara: Pejabat Keceplosan atau Kejujuran Terselubung? Ah, Masak Guyonan?

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid (pinterest)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Di negeri ini, bukan cuma sandal jepit yang bisa hilang di masjid, tanah pun ternyata bisa “dianggap” bukan milikmu.

Itulah yang ramai dibicarakan setelah Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid bikin pernyataan yang sukses bikin rakyat dari Sabang sampai Merauke mengangkat alis: “semua tanah milik negara”.

Nusron akhirnya buka suara—dan buka maaf. Katanya, itu cuma keceplosan. Bahkan ia mengaku kalimatnya “cuma bercanda”. Duh, negara kok dibuat bercanda!?

Dan sayangnya, bercandanya level pejabat ini tidak se-lucu yang ia bayangkan. Soalnya, publik sudah keburu panas dingin, terutama yang tanahnya didapat dari keringat, warisan, atau hasil nabung bertahun-tahun.

“Maaf ya, netizen, masyarakat Indonesia, semua pihak. Itu pernyataan saya keliru dan menimbulkan polemik,” ucap Nusron di kantornya, Selasa (12/8), sambil menegaskan dirinya cuma mau ngomongin tanah-tanah telantar—bukan pekarangan depan rumahmu.

Menurutnya, jutaan hektare lahan berstatus HGU (Hak Guna Usaha) dan HGB (Hak Guna Bangunan) dibiarkan nganggur bak kebun misteri.

Pemerintah pun mau “mengamankan” lahan-lahan itu lewat program strategis yang katanya demi kesejahteraan rakyat.

“Bukan sawah rakyat, bukan pekarangan, apalagi tanah warisan yang sudah bersertifikat,” tegasnya.

Tapi, publik keburu ingat pernyataan lamanya yang menyebut tak ada yang benar-benar memiliki tanah—semua cuma dapat hak pakai.

Nusron bahkan sempat menyindir yang mengklaim tanah warisan: “Emang embah-embah bisa bikin tanah? Nggak bisa, kan?”

Kalimat ini sukses memicu debat: ini murni blunder atau malah slip of truth? Soalnya, dalam praktiknya, negara memang punya kuasa penuh atas tanah lewat pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

Bedanya, rakyat mengira itu demi kemakmuran rakyat, bukan demi menambah koleksi di Bank Tanah yang sekarang terdengar seperti “koperasi simpan pinjam” versi agraria.

Apapun maksudnya, kejadian ini jadi pengingat bahwa di republik ini, tanah bukan sekadar sebidang lahan—tapi juga medan perebutan kuasa.

Dan ketika pejabatnya bisa “bercanda” soal siapa pemilik sahnya, rakyat cuma bisa berharap candaan itu tidak berubah jadi kebijakan resmi.

Karena kalau sampai berubah, jangan-jangan slogan baru kita adalah: “Tanah untuk Negara, Rakyat Numpang Saja.” Huft, gak lucu! (Red).

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like