Ngopi Setelah Sholat: Ritual Suci Hari Jumat

Ilustrasi secangkir kopi/ pinterest

Oleh: Nashrul Mu’minin*)

SUARAMUDA.NET, YOGYAKARTA — Hari Jumat, dalam tradisi Islam, bukan hanya sekadar penanda akhir pekan, tapi juga menjadi titik temu spiritual antara manusia dan Penciptanya.

Di antara gema adzan dan lantunan khutbah, terselip makna penguatan jiwa dan perenungan hidup.

Bagi banyak umat Muslim, sholat Jumat menjadi waktu muhasabah yang mendalam. Namun, di balik suasana sakral itu, ada satu kebiasaan yang tumbuh secara sosial di berbagai kalangan—ngopi setelah sholat Jumat.

Sekilas tampak biasa, namun jika ditelaah lebih dalam, ini adalah ritual sosial dan spiritual yang menyimpan makna penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Muslim.

Tradisi “ngopi setelah sholat Jumat” bukan hanya aktivitas rehat sembari menyeruput kopi. Ia menjelma sebagai ruang pertemuan informal yang mengikat makna ukhuwah, silaturahmi, bahkan diskusi lintas generasi.

Di warung kopi atau serambi masjid, para lelaki berbicara tentang harga cabai, isu politik, kenangan masa muda, hingga tafsir ayat-ayat yang baru saja didengarkan dari mimbar.

Ritual ini menjelma menjadi jembatan antara ranah spiritual dan realitas sosial. Di sinilah letak kekuatannya—karena sholat Jumat telah menegakkan nilai-nilai spiritual, dan ngopi sesudahnya memperpanjang spirit itu dalam interaksi sosial.

Namun demikian, dalam praktiknya, ritual ngopi setelah sholat Jumat menghadapi tantangan yang tidak kecil. Banyak dari kita yang menjadikan momen ini sekadar formalitas, bahkan tergelincir dalam obrolan tak produktif atau ghibah yang merusak substansi ukhuwah.

Di sisi lain, di beberapa tempat, kebiasaan ini mulai ditinggalkan karena kesibukan modernitas, perubahan gaya hidup, dan semangat individualisme yang kian menguat. Mereka datang ke masjid hanya untuk “gugur kewajiban”, lalu pergi terburu-buru mengejar agenda pribadi.

Alhasil, ruang interaksi sosial yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk memperkuat solidaritas umat menjadi hampa dan kehilangan makna.

Situasi ini menjadi ironis jika mengingat bahwa Islam sendiri sangat menekankan pentingnya silaturahmi dan komunikasi antarsesama.

Dalam hadis riwayat Muslim disebutkan bahwa “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.”

Maka, seharusnya tradisi ngopi yang ringan itu bisa menjadi sarana dakwah yang halus, tempat berbagi ilmu dan pengalaman, dan media pembelajaran yang tidak kaku. Namun, jika tidak dimaknai secara mendalam, maka ia hanya akan menjadi kebiasaan hampa tanpa arah.

Untuk itu, penting menghadirkan kembali ruh spiritual dan sosial dalam tradisi ngopi pasca sholat Jumat.

Salah satunya dengan menghidupkan warung kopi edukatif atau komunitas ngopi yang dipandu oleh tokoh masyarakat, dai muda, atau ustaz yang ramah dan inklusif. Bukan untuk mengganti majelis taklim, tapi justru sebagai perpanjangan informal dari dakwah.

Tema diskusi bisa berkisar dari fikih ringan, ekonomi rumah tangga, isu lingkungan, hingga strategi membina keluarga sakinah. Tujuannya bukan hanya menyeduh kopi, tapi juga menyeduh kesadaran kolektif bahwa Islam hidup dalam ruang sosial.

Solusi lain adalah menjadikan masjid bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat interaksi komunitas.

Beberapa masjid di kota besar telah memulai program “Ngopi Dakwah” setelah sholat Jumat, di mana jamaah diberi kopi gratis sambil mendengarkan dialog santai bertema kehidupan sehari-hari dalam perspektif Islam.

Ini adalah bentuk inovasi yang patut diapresiasi, karena menyadarkan bahwa kebiasaan yang tampaknya remeh bisa menjadi sarana pembinaan umat jika dikemas dengan bijak.

Maka dari itu, tujuan utama dari revitalisasi tradisi ini adalah membumikan nilai-nilai Islam dalam ruang sosial, dengan pendekatan yang ramah dan membumi.

Implementasi gagasan ini tentu membutuhkan dukungan dari berbagai pihak: takmir masjid, komunitas pemuda Islam, hingga pelaku usaha kecil.

Peran pemuda sangat vital di sini, karena mereka lebih luwes dalam merancang ruang diskusi yang segar dan membumi. Pemanfaatan media sosial juga bisa menjadi jembatan promosi yang efektif.

Bayangkan sebuah kampanye bertajuk “Ngopi Jumat, Nambah Iman” yang menggugah kesadaran anak muda untuk tidak langsung pulang setelah sholat, melainkan ikut terlibat dalam obrolan santai yang mencerahkan.

Kesenjangan yang muncul dalam penerapan tradisi ini adalah adanya dikotomi antara generasi tua dan muda. Banyak generasi tua yang menganggap ritual ngopi hanya sebagai pelepas lelah pasca sholat, tanpa harus dibebani diskusi serius.

Sebaliknya, generasi muda lebih kritis dan membutuhkan ruang yang interaktif, tidak terlalu formal, tapi tetap memberi asupan pemikiran.

Ketimpangan ini kadang menimbulkan jarak, sehingga perlu dijembatani dengan pendekatan yang kolaboratif. Misalnya, mengadakan sesi diskusi lintas usia dalam format “ngopi bareng”, di mana dua generasi duduk bersama, saling bertukar pandangan dengan suasana kekeluargaan.

Kesenjangan lain adalah adanya disparitas antara masjid-masjid di kota besar dengan masjid di pedesaan atau wilayah pinggiran.

Di kota, program pasca Jumat bisa berjalan lebih dinamis karena sumber daya dan SDM yang memadai. Sementara di desa, kegiatan pasca sholat Jumat masih berkutat pada rutinitas yang monoton.

Oleh karena itu, perlu ada distribusi gagasan dan program yang merata. Pemerintah daerah atau ormas keagamaan bisa berperan sebagai fasilitator untuk menjadikan masjid dan warung kopi sebagai pusat penguatan literasi sosial Islam yang menjangkau semua lapisan masyarakat.

Akhirnya, tradisi ngopi setelah sholat Jumat bukan sekadar kebiasaan santai. Ia adalah ruang sosial yang bisa dimaknai ulang sebagai strategi dakwah yang ringan, namun berdampak.

Dengan pendekatan yang kontekstual dan adaptif terhadap perubahan zaman, ritual ini dapat menjadi media transformasi umat menuju pribadi yang lebih peka, solutif, dan bersahabat.

Di tengah derasnya arus individualisme dan fragmentasi sosial, ritual sederhana ini bisa menjadi oase silaturahmi yang menyatukan hati dan pikiran umat.

Sebagaimana kopi yang tak hanya dinikmati karena rasa, melainkan karena cerita yang menyertainya, demikian pula tradisi ngopi setelah sholat Jumat.

Di balik secangkir hangatnya, tersimpan potensi besar untuk membangun masyarakat Islam yang inklusif, dialogis, dan penuh kasih sayang. Maka mari jaga dan hidupkan kembali tradisi ini—bukan hanya sebagai kebiasaan, melainkan sebagai bagian dari misi peradaban. (**)

*) Nashrul Mu’minin, penulis, tinggal di Jogja

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like