
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Ledakan, jet tempur, dan roket mengguncang kawasan Segitiga Zamrud! Perang bersenjata pecah antara Thailand dan Kamboja pada Kamis (24/7), menewaskan setidaknya 14 orang dan mengguncang stabilitas kawasan ASEAN.
Konflik ini bukan hanya saling lempar senjata—drone, artileri berat, hingga jet tempur dikerahkan kedua negara dalam bentrokan brutal di kawasan yang dikenal dengan situs bersejarah Ta Muen Thom, yakni titik pertemuan tiga negara: Thailand, Kamboja, dan Laos.
Kementerian Pertahanan Thailand menyebut 13 warga sipil dan 1 prajurit menjadi korban tewas akibat rentetan serangan roket yang diluncurkan dari wilayah Kamboja.
Serangan itu memicu respons keras dari militer Thailand, yang disebut membalas dengan serangan udara terarah ke titik-titik strategis di perbatasan.
Namun, konflik ini bukan hanya soal perbatasan. “Ini tentang identitas nasional dan harga diri sebuah negara,” kata pengamat politik internasional Universitas Wahid Hasyim Semarang (Unwahas), Sugiarto Pramono.
Menurutnya, konflik ini menguji kesaktian ASEAN dalam menjaga perdamaian regional. Prinsip non-intervensi yang dipegang ASEAN selama ini justru membuat organisasi tersebut lambat bergerak.
“Kepercayaan publik terhadap ASEAN sedang diuji. Jika terus diam, ASEAN bisa kehilangan relevansinya di mata dunia internasional,” tegas Pramono, sapaan akrab Sugiarto Pramono.
Dosen Hubungan Internasional Unwahas ini menyoroti pentingnya gencatan senjata segera, disertai jalur diplomasi bilateral yang harus dibuka secepat mungkin.
Lebih lanjut, Pramono juga mendorong ASEAN untuk mengaktifkan mekanisme ASEAN Political-Security Community (APSC) guna memfasilitasi dialog formal antarnegara.
Tak hanya itu, solusi hukum internasional juga diusulkan. “Mahkamah Internasional dan arbitrase bisa menjadi jalan damai yang mengikat,” tambahnya.
Ia juga menekankan pentingnya Track II diplomacy melalui akademisi, media, dan masyarakat sipil agar konflik tidak membesar lewat narasi publik yang liar.
Menariknya, Indonesia dinilai punya peran strategis. “Sebagai negara besar dan pemegang prinsip diplomasi damai, Indonesia harus tampil sebagai mediator netral. Bahkan, menjadi tuan rumah pertemuan darurat ASEAN,” ungkap sosok yang juga pengajar Magister Ilmu Politik (MIP) Unwahas.
Ia mendorong agar ASEAN Summit luar biasa atau pertemuan darurat para Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM) segera digelar di Jakarta untuk mencegah eskalasi lebih jauh.
Konflik ini bukan hanya mengancam dua negara, tapi juga menjadi alarm keras bagi masa depan ASEAN. Ketidakmampuan menyelesaikan konflik antaranggota bisa mengikis kepercayaan dunia pada misi perdamaian dan integrasi regional yang selama ini dibanggakan.
Apakah ASEAN akan bangkit atau hanya jadi penonton? Dunia menanti jawabannya! (Red)