SUARAMUDA.NET, JAKARTA — Kesepakatan antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto mengenai pembebasan bea masuk barang asal Amerika Serikat menuai sorotan tajam dari berbagai pihak.
Salah satunya datang dari Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Prof. Hikmahanto Juwana, yang mengingatkan potensi gejolak diplomatik dan ekonomi dari negara-negara mitra dagang lama Indonesia.
Dalam acara Obrolan Newsroom yang disiarkan Kompas.com pada Rabu (16/7/2025), Hikmahanto menyatakan bahwa Indonesia harus berhati-hati karena kesepakatan khusus dengan AS ini bisa menimbulkan kecemburuan dan reaksi keras dari mitra strategis seperti China, Uni Eropa, hingga Jepang.
“Kita harus mewaspadai bahwa negara-negara seperti China, Uni Eropa, dan Jepang bisa merasa dianaktirikan. Mereka bisa saja mengatakan, ‘Kalau begini caranya, saya keluar saja dari Indonesia,’” tegas Hikmahanto.
Menurutnya, negara-negara besar tersebut kemungkinan akan menempuh langkah serupa seperti AS—yakni dengan menetapkan tarif tinggi terlebih dahulu agar Indonesia mau bernegosiasi dan memberikan keringanan bea masuk.
“Bayangkan kalau semua negara besar mengambil sikap seperti itu. Akhirnya Indonesia hanya menjadi pasar bagi produk luar negeri, tanpa diikuti manfaat jangka panjang seperti transfer teknologi atau penyerapan tenaga kerja lokal,” ujarnya.
Yang lebih mengkhawatirkan, kata Hikmahanto, adalah dampak dari kebijakan ini terhadap lapangan kerja di dalam negeri. Ia menilai kesepakatan bebas bea masuk justru lebih menguntungkan negara asal produk, bukan Indonesia sebagai pasar tujuan.
“Lapangan pekerjaan tidak tercipta di Indonesia. Justru terbuka di negara-negara yang produknya masuk tanpa bea. Ini sangat merugikan dalam jangka panjang,” tambahnya.
Ia pun menyerukan agar pemerintah Indonesia berhitung matang dalam setiap kerja sama dagang, terutama yang bersifat bilateral dan memberi keistimewaan pada satu pihak. Ia mengingatkan agar tidak ada kebijakan yang justru merugikan kepentingan nasional dan kedaulatan ekonomi Indonesia.
“Diplomasi ekonomi kita harus cerdas. Jangan sampai karena ingin dekat dengan satu negara, kita malah kehilangan kepercayaan dari banyak negara lain,” pungkas Hikmahanto. (Red)