Kurikulum Lesehan, Pembebas Paradigma Pedagogi

Sketsa Dimas Bramasto CD., Praktisi dan Pendidik di Bidang Seni dan Desain (dok istimewa)

SUARAMUDA, SEMARANG – “Pendidikan dan pengajaran di dalam Republik Indonesia harus berdasarkan kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa Indonesia, menuju ke arah kebahagiaan batin serta keselamatan hidup lahir.” – Ki Hajar Dewantara –

Kutipan tersebut bukan hanya sebatas pepatah belaka, namun juga terkandung prinsip pendidikan di Indonesia yang berlandaskan norma kehidupan.

Hal ini tentunya menjadi penyemangat individu pembelajar untuk terus berjuang maju dalam mengembangkan intelektualitas dengan tetap bertumpu pada moral dan akhlak yang mulia.

Refleksi Pusaran Perubahan Kurikulum Pendidikan Indonesia

Pendidikan adalah sokoguru utama kemajuan suatu bangsa. Namun, di Indonesia, upaya membangun pondasi ini kerap dihantui oleh ketidakstabilan yang paradoks: kurikulum pendidikan yang berganti seraya kabinet berubah.

Setiap pergantian pemerintahan seolah membawa angin baru yang tak hanya menerbangkan kebijakan lama, tetapi juga mengguncang fondasi sistem pendidikan.

Dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, Kurikulum 2013 (K13), hingga Kurikulum Merdeka yang digaungkan era Nadiem Makarim, setiap perubahan diiringi janji peningkatan kualitas.

Namun di balik itu, tersembunyi masalah kronis: inkonsistensi kebijakan yang mengorbankan kesinambungan pembelajaran.

Perubahan kurikulum yang terlalu sering ibarat mengganti cetak biru bangunan di tengah proses konstruksi. Hasilnya, guru dan siswa terus saling berlari mengejar target yang selalu berubah-ubah.

Sementara sekolah kebingungan mengalokasikan sumber daya yang terbatas. Tidak jarang, inovasi yang digadang-gadang justru terasa sebagai eksperimen politis belaka.

Cara bagi menteri baru untuk meninggalkan “jejak” tanpa memastikan apakah jejak itu akan bertahan lebih dari lima tahun atau hanya seumur kabinet.

Padahal, pendidikan membutuhkan implementasi jangka panjang dengan penuh kesabaran, konsistensi, dan evaluasi berbasis data, bukan sekadar gebrakan yang sifatnya simbolis.

Pertanyaannya: sampai kapan kita membiarkan dinamika politik mengatur ritme pendidikan?

Ketika kurikulum menjadi ajang pencapaian proyek kekuasaan, bukan kebutuhan nyata peserta didik, bukankah kita justru menjauh dari cita-cita Ki Hajar Dewantara tentang “menuntun segala kodrat anak agar mencapai kebahagiaan setinggi-tingginya”?

Inilah saatnya merefleksikan ulang: perubahan bukanlah musuh, tetapi ketiadaan visi jangka panjanglah yang menggerus potensi pendidikan Indonesia.

Saatnya bagi kita untuk menelusuri akar masalah kurikulum yang fluktuatif, dampaknya terhadap ekosistem pembelajaran, serta urgensi membangun sistem pendidikan yang tangguh, bukan sekadar responsif terhadap perubahan politik, tetapi juga berkomitmen pada kemaslahatan generasi mendatang.

Tradisi Lesehan dalam Perspektif Masyarakat Jawa

Meskipun jaman sudah berlari ke arah modernitas, namun budaya hidup masih sangat dipegang erat. Dalam hal ini kita memandang masyarakat Jawa.

Masyarakat Jawa memegang erat tradisi sebagai tanda menghormati leluhur mereka. Tidak sedikit tradisi Jawa sampai saat ini masih dilestarikan oleh generasi keturunannya. Orang Jawa hidup dalam dunia lahir dan batin. Yang dipenuhi tata krama dan ruang pergulatan dengan diri sendiri (Sindhunata, 1983).

Salah satu ragam tradisi orang Jawa yang cukup dikenal adalah lesehan. Lesehan adalah suatu budaya tentang memperjualbelikan makanan atau barang sembari duduk di tikar ataupun lantai (Subagio, 2023).

Produk dagangan yang berupa makanan ataupun barang seraya digelar pada saat lesehan sehingga pengunjung dapat melihat, memilih, membeli, bahkan makan secara santai dengan cara lesehan.

Bagi orang Jawa tradisi tersebut merupakan sesuatu yang diagungkan karena dalam lakunya terkandung makna dan nilai mendalam sebagai tata krama kehidupan.

Saat ini istilah lesehan telah berkembang luas tidak hanya pada lingkup tradisi makan saja, akan tetapi sudah berubah menjadi gaya hidup ataupun tren di tengah kehidupan masyarakat.

Salah satu bentuk perubahannya yaitu dalam aktivitas diskusi, curah ide, sarasehan, workshop, dan acara lainnya yang bersifat formal maupun informal. Tradisi ini pun sudah diadaptasi ke dalam berbagai ruang umum seperti kantor, warung, kafe, dan working space.

Dengan demikian lesehan sudah bukan hanya tentang tradisi makan yang layaknya sudah menjadi tradisi masyarakat Jawa terdahulu, namun kini juga sudah bisa difungsikan sebagai sarana edukasi.

Tentu dalam konteks pendidikan formal terdapat materi-materi bersifat leterlek. Tembok batasan yang membelenggu seperti kurikulum, pedagogi, ideologi bahkan kuasa pendidikan. Dalam pendekatan kearifan lokal lesehan inilah konten materi yang membelenggu jadi terbebaskan.

Berbagai kalangan dari latar belakang dapat duduk santai tanpa menghilangkan esensi nilai yang didiskusikan. Setiap orang dapat menjadi guru ataupun murid berdasarkan pengalaman berharga yang saling mereka bagikan.

Mereka melingkar bersama dalam kebebasan untuk mengakses ilmu. Sumber ilmu sudah bukan sebatas pada ruang kelas tetapi juga bisa di luar kelas.

Kurikulum Lesehan

Dengan menemukan perspektif baru ini, maka tercetuslah ‘kurikulum lesehan’. Kurikulum lesehan lebih berpeluang mendapatkan banyak dimensi pengetahuan.

Saat mengimplementasinya di samping mendapatkan kebaikan sosial juga dapat mencapai pengetahuan multidisipliner yang segar karena berjumpa, kontak budaya, dan bertemu sapa secara langsung antar masyarakat.

Eksistensinya bebas dan lebih merdeka sesuai atas pilihan individu ingin diarahkan kemana dan apa yang dipelajarinya.

Pada akhirnya, esensi pendidikan yang sesungguhnya terletak pada interaksi langsung dengan kehidupan. Dalam konteks ini, belajar dengan konsep lesehan tersebut terbuka sebagai jembatan yang menjaga kesinambungan tanpa tergantung pada embel-embel kurikulum tertentu.

Sehingga terbitlah potensi dari generasi yang tidak saja pandai berpikir, namun juga pandai berempati serta peka terhadap realitas kehidupan di sekitarnya demi menjadikan insan manusia seutuhnya. (Red)

*) Dimas Bramasto CD., Praktisi dan Pendidik di Bidang Seni dan Desain

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like