
Kisah Hikmah, SUARAMUDA – Dalam perjalanan hidup, sering kali kita terjebak pada penilaian yang berpusat pada hal-hal besar, mengabaikan makna mendalam dari tindakan kecil yang dilakukan dengan hati tulus.
Salah satu contoh nyata dari amalan sederhana tetapi sarat makna adalah tradisi menata sandal kiai—sebuah tindakan yang penuh hikmah, ketundukan, dan penghormatan terhadap guru atau ulama.
Tradisi ini tidak hanya ada di kalangan pesantren tetapi juga memiliki jejak yang kuat dalam sejarah Islam.
Dari kisah Rasulullah ﷺ hingga ulama besar Indonesia seperti KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, tindakan ini menggambarkan sebuah pelajaran berharga tentang ketulusan hati dan nilai sebuah penghormatan.
Dalam tradisi pesantren, menata sandal kiai sering dianggap sebagai wujud penghormatan sekaligus bentuk “ngalap berkah” atau mencari keberkahan.
Santri percaya bahwa sandal seorang kiai, yang digunakan untuk membawa jasadnya saat menapaki jalan dakwah, memiliki keberkahan tersendiri. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab “Al-Fawaid al-Mukhtar li Saliki Thariq al-Akhirah” karya Habib Zain bin Ibrahim bin Smith:
التبرك باالنعلين من الولي افضل منه بغيرهما لانهما
يحملان الجثة كلها، أو ما هذا معناه
“Memburu keberkahan melalui sandal seorang wali adalah amalan yang utama, karena sandal digunakan untuk membawa jasad seutuhnya.”
Tindakan sederhana ini menjadi simbol penghormatan yang dalam kepada sosok yang dihormati. Bagi para santri, menata sandal bukanlah tugas sepele, tetapi sebuah ibadah yang dilakukan dengan niat ikhlas untuk mendapatkan ridha Allah melalui penghormatan kepada para ulama dan guru.
Kisah Keteladanan Dua Ulama Besar Indonesia
Kebiasaan menata sandal ini juga menjadi bagian dari kisah kehidupan dua ulama besar Indonesia, KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama.
Keduanya pernah berguru kepada Kiai Sholeh Darat Semarang, seorang ulama karismatik yang terkenal dengan kedalaman ilmunya.
Dikisahkan bahwa saat menjadi santri, KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari sering berebut untuk menata sandal gurunya. Tindakan ini tidak sekadar menjadi rutinitas, tetapi wujud nyata penghormatan mereka kepada Kiai Sholeh Darat.
Ketulusan mereka dalam melayani sang guru membuat keduanya dipandang istimewa di mata Kiai Sholeh.
Tradisi ini juga dilanjutkan oleh KH Muhammad Arwani Amin (Mbah Arwani) dari Kudus, seorang ulama terkenal yang dikenal selalu menata sandal tamu-tamunya.
Meski beliau adalah sosok yang dihormati, kerendahan hati beliau dalam menata sandal para tamu menunjukkan betapa pentingnya nilai penghormatan dalam Islam.
Kisah Salman dan Rasulullah ﷺ
Tradisi ini tidak lepas dari keteladanan Rasulullah ﷺ. Dalam sebuah kisah, ada seorang pemuda bernama Salman yang setiap hari datang lebih awal ke masjid untuk merapikan dan membalik posisi sandal Rasulullah ﷺ.
Tindakan ini dilakukan dengan penuh cinta dan ketulusan hingga membuat Rasulullah ﷺ penasaran.
Suatu hari, Rasulullah ﷺ sengaja bersembunyi untuk melihat siapa yang selalu merapikan sandalnya. Ketika mengetahui bahwa Salman adalah pelakunya, Rasulullah ﷺ mendoakan Salman agar menjadi ahli fikih.
Doa ini dikabulkan, dan Salman kelak dikenal sebagai salah satu ulama besar di bidang fikih.
Makna yang Mendalam
Dari kisah-kisah di atas, kita dapat menarik pelajaran bahwa tindakan kecil yang dilakukan dengan niat tulus memiliki nilai yang sangat besar di sisi Allah.
Menata sandal seorang kiai atau guru bukan hanya tentang menyusun benda fisik, tetapi juga melatih diri untuk merendahkan hati, menunjukkan penghormatan, dan menumbuhkan cinta kepada ilmu.
Ketulusan hati dalam melayani, meskipun dalam hal yang tampak sepele, membawa keberkahan yang luar biasa.
Sebagaimana Rasulullah ﷺ mendoakan Salman, tindakan sederhana ini dapat menjadi jalan bagi seseorang untuk mendapatkan keberkahan ilmu dan kehidupan.
Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari kisah-kisah ini. Mari belajar untuk menghormati guru, ulama, dan siapa pun yang menjadi panutan kita, sebab penghormatan adalah kunci untuk membuka pintu keberkahan.
Wallahu a’lam bish-shawab.