Strategi Meningkatkan PAD Kota Pekanbaru dari Sektor Pariwisata Berbasis Masyarakat

Oleh: Anna Asriniati, mahasiswa S2 Prodi Ilmu Administrasi, Universitas Islam Riau

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Pekanbaru terus menunjukkan tren menggembirakan dalam beberapa tahun terakhir.

Pada tahun 2023, total pendapatan Pemerintah Kota Pekanbaru dilaporkan mencapai sekitar Rp2,75 triliun dan menjadi capaian tertinggi dalam 15 tahun terakhir, dengan belanja daerah berada di kisaran Rp2,74 triliun.

Capaian ini menegaskan bahwa Pekanbaru memiliki potensi fiskal yang kuat, namun sekaligus memunculkan tuntutan agar sumber-sumber PAD dikelola secara lebih berkelanjutan dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat.

Di tengah keterbatasan ruang fiskal dan tingginya kebutuhan pembangunan, sektor pariwisata berbasis masyarakat menjadi salah satu alternatif penting untuk memperkuat PAD.

Pekanbaru yang berada di jantung Pulau Sumatera memiliki lokasi strategis, didukung jaringan transportasi udara, darat, sungai, dan berbagai fasilitas akomodasi, pusat kuliner, serta pusat perbelanjaan modern.

Dengan modal ini, kebijakan fiskal yang pro-pariwisata dapat menjadi instrumen efektif untuk meningkatkan penerimaan daerah, terutama melalui pajak hotel, restoran, hiburan, dan retribusi jasa usaha pariwisata lainnya.

Potret Fiskal dan Potensi Pariwisata

Dari sisi anggaran, KUA-PPAS APBD murni Kota Pekanbaru tahun 2023 disepakati sekitar Rp2,699 triliun, naik dari tahun sebelumnya dan dialokasikan antara lain untuk perbaikan jalan, penanganan sampah, dan pengendalian banjir.

Struktur pendapatan daerah terdiri dari PAD, pendapatan transfer, dan lain-lain pendapatan yang sah, di mana PAD memegang peranan penting sebagai ukuran kemandirian fiskal.

Pada tahun-tahun terakhir, realisasi pendapatan Pekanbaru dinilai cukup baik hingga pemerintah kota menerima penghargaan atas realisasi APBD dan peningkatan PAD dari Kementerian Dalam Negeri.

Di sisi lain, penelitian tentang pajak daerah di Pekanbaru menunjukkan bahwa pajak hotel dan restoran memberikan kontribusi nyata terhadap PAD, meski besarnya masih bervariasi antar tahun.

Rata-rata kontribusi pajak hotel terhadap PAD beberapa tahun terakhir berada di kisaran sekitar 4–6 persen, sedangkan pajak restoran bisa memberikan kontribusi yang relatif lebih tinggi.

Artinya, ketika aktivitas pariwisata meningkat, penerimaan pajak daerah berpotensi ikut terdongkrak dan memperkuat ruang fiskal pemerintah kota.

Konsep Pariwisata Berbasis Masyarakat

Pariwisata berbasis masyarakat atau Community-Based Tourism (CBT) adalah pendekatan pengembangan wisata yang menempatkan masyarakat lokal sebagai pelaku utama.

Dalam konsep ini, warga tidak hanya menjadi objek, tetapi sekaligus pemilik dan pengelola usaha wisata seperti homestay, kuliner, kerajinan, pertunjukan seni, hingga jasa pemandu wisata.

Manfaat ekonomi pariwisata dengan demikian mengalir langsung ke masyarakat, sementara pemerintah daerah memperoleh penerimaan melalui pajak dan retribusi yang tumbuh seiring berkembangnya usaha-usaha tersebut.

Pekanbaru memiliki contoh konkret implementasi CBT melalui pengembangan Kampung Wisata Bandar di Kecamatan Senapelan yang ditetapkan sebagai ikon wisata Melayu kota.

Di kawasan ini terdapat objek wisata sejarah dan religi seperti Rumah Singgah Tuan Kadi, area kuliner, ruang untuk pelaku ekonomi kreatif, serta pertunjukan seni dan budaya Melayu yang dikelola bersama antara pemerintah dan komunitas lokal.

Jika model seperti Kampung Bandar diperkuat dan direplikasi di kawasan lain, basis pelaku usaha pariwisata yang membayar pajak dan retribusi akan semakin luas.

Tantangan Optimalisasi PAD Pariwisata

Meski peluangnya besar, kontribusi sektor pariwisata terhadap PAD Pekanbaru belum sepenuhnya optimal.

Sejumlah kajian menunjukkan bahwa kontribusi pajak hotel dan restoran dalam struktur PAD masih tergolong kecil dibanding potensi yang tersedia, sebagian karena rendahnya kepatuhan pajak dan belum meratanya kualitas destinasi wisata.

Di beberapa tahun, tingkat kontribusi pajak hotel dan restoran juga menunjukkan fluktuasi, yang mengindikasikan perlunya penguatan strategi promosi dan pengawasan fiskal.

Selain itu, pengembangan pariwisata berbasis MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition) di Pekanbaru dinilai belum maksimal.

Padahal kota ini memiliki lebih dari 60 hotel berbintang, puluhan hotel non-bintang, serta ratusan rumah makan, restoran, dan kafe yang menjadi modal penting untuk menarik wisatawan bisnis dan penyelenggaraan acara berskala regional maupun nasional.

Tanpa promosi dan dukungan kebijakan yang tepat, fasilitas ini hanya akan menjadi potensi tidur yang belum sepenuhnya tercermin dalam peningkatan PAD.

Strategi Kebijakan untuk Meningkatkan PAD

Pertama, pemerintah kota perlu memperkukuh pengembangan destinasi unggulan yang dikelola bersama masyarakat.

Kampung Bandar sebagai ikon wisata Melayu dapat dijadikan proyek percontohan untuk memperluas CBT di kawasan lain seperti wisata kreatif, wisata kuliner malam, dan ruang publik tematik yang menonjolkan budaya lokal.

Melalui pelibatan UMKM lokal, kelompok seni, dan komunitas pemuda, pariwisata tidak hanya mendongkrak penerimaan pajak, tetapi juga menciptakan lapangan kerja serta identitas kota yang khas.

Kedua, strategi penguatan PAD perlu disertai digitalisasi pemungutan pajak hotel, restoran, dan hiburan. Bapenda Pekanbaru beberapa tahun terakhir mengembangkan inovasi untuk mengejar target PAD, termasuk modernisasi sistem dan pemberian penghargaan kepada wajib pajak patuh.

Langkah ini dapat diperluas dengan penerapan alat perekam transaksi (tapping box), aplikasi pelaporan pajak daring, dan integrasi data dengan perizinan usaha sehingga potensi kebocoran penerimaan dapat ditekan.

Ketiga, promosi pariwisata perlu didesain secara terpadu dengan memanfaatkan kanal digital dan kerja sama multipihak.

Disbudpar Riau menilai bahwa Pekanbaru memiliki daya tarik kuat sebagai kota MICE jika dikelola dengan baik dan dipromosikan secara kreatif melalui media digital dan kolaborasi dengan pelaku usaha.

Pemerintah kota dapat mendorong kalender event tahunan, festival budaya, dan expo bisnis yang melibatkan komunitas lokal serta pelaku industri hotel dan restoran, sehingga lama tinggal dan pengeluaran wisatawan meningkat, yang pada akhirnya memperkuat basis pajak daerah.

Keempat, diperlukan sinkronisasi antara perencanaan pembangunan pariwisata dengan dokumen fiskal seperti Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah (RIPPARDA) dan APBD.

Peraturan daerah tentang kepariwisataan Pekanbaru telah menetapkan zona-zona pengembangan wisata dan arah kebijakan pengelolaan destinasi.

Dengan menjadikan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat sebagai program prioritas, alokasi belanja untuk infrastruktur pendukung, pelatihan SDM pariwisata, dan promosi dapat diarahkan secara lebih terukur dan berdampak pada peningkatan PAD.

Penutup

Secara keseluruhan, penguatan PAD Kota Pekanbaru melalui sektor pariwisata berbasis masyarakat bukan sekadar upaya menambah angka pendapatan dalam neraca APBD.

Pendekatan ini merupakan strategi fiskal yang sekaligus mendorong pemerataan ekonomi, membuka lapangan kerja, dan memperkuat identitas budaya lokal.

Dengan memaksimalkan potensi destinasi seperti Kampung Bandar, mengembangkan pariwisata MICE, memperbaiki sistem pemungutan pajak daerah secara digital, serta melibatkan masyarakat dalam setiap tahap pengelolaan wisata, Pekanbaru berpeluang mempertahankan tren PAD tertinggi dalam 15 tahun sekaligus menjadi kota yang lebih inklusif dan berdaya saing. (Red)

 

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like