Oleh: Febrina Nur Ramadhani *)
SUARAMUDA.NET., SEMARANG — Nilai perdagangan internasional Indonesia dalam lima tahun terakhir secara konsisten menembus angka USD 400 miliar per tahun, dengan ekspor non-migas menyumbang devisa lebih dari USD 200 miliar.
Di balik angka-angka impresif ini, pelaku ekspor-impor beroperasi dengan sistem dokumentasi dan pembayaran yang melibatkan konversi rupiah-dolar dalam jumlah triliunan.
Rencana redenominasi yang dicanangkan pemerintah melalui RUU Perubahan Harga Rupiah tidak lain bertujuan untuk menyederhanakan sistem transaksi yang makin hari kian rumit.
Lalu muncul pertanyaan serius terkait kebijakan ini, akankah penyederhanaan nilai rupiah ini mempermudah atau justru memperumit mekanisme perdagangan lintas negara yang telah mapan? Kita perlu telaah lebih jauh manfaat dan tantangan yang mungkin muncul sebagai dampak dari kebijakan ini.
Potensi Manfaat dalam Dimensi Perdagangan Global
Pertama, redenominasi akan mengubah lanskap administrasi perdagangan luar negeri secara fundamental. Pelaku ekspor-impor tidak perlu lagi mencantumkan angka dengan 12-15 digit dalam dokumen seperti Commercial Invoice, Packing List, Bill of Lading, maupun Certificate of Origin.
Ini mengurangi risiko kesalahan penulisan nilai yang dapat berujung pada penolakan dokumen di bank koresponden atau bea cukai negara tujuan. Dalam praktik Letter of Credit (L/C), discrepancy akibat kesalahan nominal adalah salah satu penyebab tertinggi penolakan dokumen.
Kedua, sistem SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication) yang menjadi backbone pembayaran ekspor-impor akan bekerja lebih efisien dengan denominasi rupiah yang lebih ringkas.
Proses rekonsiliasi antara nilai dalam Rupiah dengan mata uang transaksi (USD, EUR, CNY) menjadi lebih streamlined. Bagi eksportir yang menggunakan skema collection atau open account, tracking pembayaran dari buyer menjadi lebih mudah dengan nominal yang tidak terlalu panjang.
Ketiga, dimensi psikologis tidak dapat diabaikan dalam perdagangan internasional. Buyer dari negara maju sering kali memiliki persepsi bias terhadap mata uang dengan denominasi sangat besar, mengasosiasikannya dengan inflasi tinggi atau instabilitas ekonomi.
Rupiah dengan denominasi lebih kecil dapat mengubah dynamic negosiasi harga, memberikan kesan soliditas ekonomi yang lebih baik. Meski tidak mengubah nilai tukar riil, faktor persepsi ini dapat memengaruhi bargaining position eksportir Indonesia di pasar global.
Tantangan Teknis dan Operasional yang Kompleks
Di samping banyaknya potensi manfaat yang dapat dirasakan dari kebijakan ini, kita juga perlu memahami berbagai tantangan yang mungkin muncul, utamanya berkaitan dengan hal-hal teknis dan operasional yang kompleks. Sektor ekspor-impor beroperasi dengan horizon waktu yang panjang.
Kontrak supply chain, terutama untuk komoditas strategis seperti CPO, batubara, atau tekstil, sering berjalan 2-5 tahun dengan mekanisme pembayaran cicilan atau periodic shipment.
Redenominasi menciptakan dilema hukum: apakah kontrak yang ditandatangani sebelum redenominasi harus dikonversi atau tetap menggunakan nilai lama? Ketidakjelasan ini dapat memicu sengketa dengan counterpart asing yang berujung pada arbitrase internasional yang costly.
Selain itu, eksportir dan importir besar mengandalkan derivative instruments seperti forward, swap, atau options untuk melindungi diri dari volatilitas nilai tukar. Redenominasi menciptakan ketidakpastian dalam valuation instrumen-instrumen ini.
Bank harus melakukan restatement massif terhadap outstanding derivative positions, yang dapat menimbulkan temporary disruption dalam market making aktivitas hedging. Bagi perusahaan yang heavily hedged, periode transisi menjadi fase berisiko tinggi di mana exposure management menjadi challenging.
Selanjutnya, perusahaan ekspor-impor mengandalkan sistem ERP terintegrasi yang menghubungkan procurement, inventory, accounting, hingga trade finance.
Software seperti SAP, Oracle, atau sistem lokal harus direkonfigurasi secara menyeluruh—bukan hanya master data currency, tetapi juga historical data untuk keperluan reporting dan analisis trend.
Proses migrasi data ini membutuhkan downtime yang dapat menghambat operasional perdagangan, terutama bagi perusahaan dengan volume transaksi tinggi.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah komunitas bisnis internasional memiliki limited awareness terhadap kebijakan domestik Indonesia. Buyer dan supplier di Eropa, Amerika, atau Asia Timur perlu waktu untuk memahami bahwa IDR 15,000 lama kini menjadi IDR 15 baru (misalnya).
Fase pembelajaran ini rentan terhadap kesalahpahaman dalam quotation harga, payment terms, dan invoice verification. Dokumentasi ekspor-impor yang melibatkan multiple parties (freight forwarder, customs broker, bank, surveyor) memperbesar potensi confusion chain.
Implikasi pada Daya Saing Ekspor dan Proteksi Importir
Dari berbagai potensi manfaat dan tantangan yang mungkin muncul atas kebijakan ini, setidaknya terdapat dua implikasi bagi gaya saing ekspor dan poteksi perdagangan impor. Pertama, yakni efek money illusion pada strategi pricing.
Fenomena money illusion, di mana pelaku ekonomi fokus pada nominal value daripada real value, dapat memengaruhi keputusan pricing. Eksportir mungkin tergoda untuk menaikkan harga karena merasa rupiah lebih kuat secara nominal, padahal nilai tukar riil tidak berubah.
Sebaliknya, importir mungkin salah menghitung cost structure karena persepsi keliru tentang nilai rupiah baru. Distorsi persepsi ini dapat mengurangi competitiveness produk Indonesia di pasar global atau sebaliknya, menciptakan unfair advantage sementara.
Kedua, yakni berkaitan dengan dampak pada bea masuk dan tarif trade remedy. Perhitungan bea masuk, PPN impor, dan PPh Pasal 22 impor berbasis nilai CIF (Cost, Insurance, Freight) yang dinyatakan dalam rupiah. Redenominasi memerlukan penyesuaian sistem Customs Declaration dan National Single Window (NSW).
Lebih kompleks lagi, Indonesia memiliki komitmen di WTO dan free trade agreements yang melibatkan perhitungan tariff rate quota dan safeguard measures berdasarkan nilai absolut. Inkonsistensi dalam konversi dapat memicu trade dispute atau bahkan violation terhadap komitmen internasional.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nyatanya redenominasi rupiah merupakan structural reform yang berdampak luas pada ekosistem perdagangan internasional Indonesia. Bagi perdangan lintas negara, kebijakan ini menghadirkan trade-off antara efisiensi jangka panjang dan disruption jangka pendek.
Keberhasilan implementasi sangat bergantung pada kualitas persiapan, keterlibatan stakeholder, dan political commitment untuk menjalankan transisi secara bertahap dan terukur. Dalam hal ini, suara pelaku perdagangan luar negeri juga harus menjadi input yang perlu dipertimbangkan dalam desain kebijakan.
Dengan pendekatan komprehensif dan collaborative governance, redenominasi dapat menjadi momentum untuk memperkuat posisi Indonesia dalam peta perdagangan dunia. (Red)
*) Penulis: Febrina Nur Ramadhani, Dosen FEB Universitas Negeri Makassar