Jurnalisme yang Kehilangan Nurani: Saat Pena Tak Lagi Bicara Kebenaran

Penulis: Hanzirwansyah (Bang Iwan), Pemerhati Sosial dan Kebijakan Publik

Oleh: Hanzirwansyah (Bang Iwan) *

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Dalam sejarah panjang peradaban manusia, kata memiliki kuasa yang tak tertandingi. Dari pena lahir revolusi, dari tulisan tercipta kesadaran, dan dari kabar terbangun kepercayaan publik.

Namun di tengah hiruk pikuk dunia digital hari ini, ketika segala hal berlomba menjadi “viral”, makna luhur profesi jurnalis kerap tenggelam oleh kepentingan pribadi dan politik praktis.

Kita hidup di masa ketika gelar dan sertifikat dijadikan simbol kemuliaan profesi. Di ruang publik Aceh, terutama di kalangan jurnalis, sertifikat Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sering dianggap puncak pembuktian profesionalitas.

Padahal, seperti diingatkan oleh Rocky Gerung, ijazah hanyalah bukti seseorang pernah bersekolah, bukan jaminan bahwa ia pernah berpikir.

Begitu pula dengan sertifikat uji kompetensi wartawan (UKW), hanya tanda bahwa seseorang pernah diuji secara formal, bukan jaminan bahwa ia memahami etika dan tanggung jawab moral pena yang digenggamnya.

Etika yang Terlupakan

Dalam filosofi kehidupan Aceh, ada pepatah yang berbunyi adat ngon syara, lagee zat ngon sifeut (adat dan agama seperti zat dan sifat), menyatu tak terpisahkan.

Prinsip itu menuntun masyarakat Aceh untuk menegakkan kebenaran dengan adab dan tanggung jawab. Seorang jurnalis Aceh, karenanya, seharusnya bukan hanya penulis berita, tetapi penjaga nilai dan penuntun akal sehat publik.

Namun yang terjadi hari ini justru sebaliknya. Di beberapa daerah, termasuk Aceh Selatan, jurnalisme kehilangan ruh etikanya. Profesi mulia itu perlahan berubah menjadi arena pertarungan pengaruh, bukan lagi kompetisi gagasan, melainkan perebutan kedekatan dengan kekuasaan.

Fenomena wartawan yang berlomba menunjukkan loyalitas pada pejabat kini menjadi pemandangan lazim. Tak jarang, wartawan yang kalah dalam gelanggang politik praktis kemudian mencari perlindungan di bawah bayang kekuasaan baru.

Mereka menulis bukan lagi untuk publik, melainkan untuk memoles citra, menyerang rekan seprofesi, atau mengamankan kepentingan iklan dan pariwara.

Padahal, bupati atau kepala daerah tidak membutuhkan jurnalis penjilat. Ia memerlukan mitra kritis dan mitra strategis yang mampu membaca arah kebijakan dan menyuarakan nurani rakyat.

Pemerintah daerah sejatinya memiliki tim penasihat komunikasi publik yang bertugas menata strategi publikasi. Sementara wartawan, seharusnya tetap berada di luar lingkar kekuasaan yang mengawasi, bukan menjilat kekuasaan.

Jurnalis dan Tanggung Jawab Moral

Dalam literatur jurnalisme klasik, Walter Lippmann menyebut wartawan sebagai “penjaga gerbang informasi” (gatekeeper of truth). Tugas mereka bukan sekadar menulis berita, tapi menimbang kebenaran, menguji data, dan memastikan informasi tidak menjadi senjata fitnah.

Namun tanggung jawab moral itu hanya bisa lahir dari kesadaran diri, bukan dari pelatihan atau sertifikat. Integritas tidak bisa dibeli dan tidak bisa diajarkan dalam sepekan pelatihan. Ia tumbuh dari keberanian untuk berkata benar ketika semua orang memilih diam.

Aceh memiliki sejarah panjang tentang keberanian bersuara. Dari masa Teungku Chik di Tiro hingga Cut Nyak Dhien, perjuangan di Aceh selalu disertai dengan suara nurani yang tajam, menolak ketidakadilan dan menegakkan martabat.

Di sinilah filosofi ke-Acehan menjadi relevan, bahwa kebenaran harus diperjuangkan, sekalipun harus berhadapan dengan kekuasaan.

Maka seorang jurnalis sejati di tanah ini mestilah menulis dengan hati, bukan dengan perintah. Ia tidak tunduk pada amplop atau kedekatan, tetapi pada kebenaran dan kepentingan rakyat. Pena yang ia genggam bukan alat mencari muka, melainkan senjata moral untuk menjaga akal sehat masyarakat.

Ketika Sejarah Menulis Ulang

Sejarah tidak pernah mencatat siapa yang paling banyak menulis berita asal bapak senang, tetapi siapa yang paling setia pada kebenaran. Mereka yang menulis untuk mencerahkan, bukan untuk menjilat penguasa, akan selalu dikenang.

Sebaliknya, mereka yang menggadaikan nurani untuk sedikit perhatian dan fasilitas akan dilupakan begitu saja.

Kini, saat dunia informasi semakin bising dan media sosial memproduksi jutaan kabar setiap detik, jurnalis dituntut bukan hanya cerdas, tapi berkarakter. Publik Aceh tidak membutuhkan banyak jurnalis yang pandai menulis, melainkan sedikit yang berani jujur.

Karena pada akhirnya, tanggung jawab seorang pewarta tidak berhenti pada tajuk berita, tetapi pada jejak moral yang ia tinggalkan dalam sejarah bangsa dan negeri ini.

Dan di situlah seharusnya kita kembali bertanya, Apakah pena kita masih menulis untuk kebenaran, atau sekadar menulis agar disukai oleh kekuasaan agar mendominasi banyak iklan? (Red)

*) Penulis: Hanzirwansyah (Bang Iwan), Pemerhati Sosial dan Kebijakan Publik

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like