Oleh Anugrah Alqadri*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Kasus penolakan pasien warga Baduy bernama Repan oleh salah satu rumah sakit di Jakarta Pusat karena tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) seharusnya mengguncang kesadaran kita sebagai bangsa.
Betapa mungkin seorang remaja yang baru saja menjadi korban begal, datang dengan luka fisik dan trauma mental, justru ditolak oleh institusi yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi manusia yang membutuhkan pertolongan?
Peristiwa ini bukan hanya soal prosedur administrasi yang kaku. Ini adalah cermin dari kegagalan sistemik dalam pelayanan kesehatan nasional.
Lebih menyakitkan lagi, kejadian tersebut terjadi di jantung ibu kota, hanya berjarak beberapa kilometer dari kantor Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Bila di Jakarta pun hak dasar warga bisa diabaikan, bagaimana nasib masyarakat di pelosok negeri yang jauh dari sorotan publik?
Kesehatan Bukan Sekadar Layanan, Tapi Hak Konstitusional
Konstitusi Indonesia dengan tegas menjamin hak atas kesehatan dan keselamatan setiap warga negara. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Oleh karena itu, penolakan pasien atas dasar administratif adalah pelanggaran terhadap nilai konstitusional dan prinsip dasar kemanusiaan.
Rumah sakit bukan sekadar lembaga bisnis. Ia adalah institusi kemanusiaan yang beroperasi dengan etika dan nurani. Dalam setiap tindakan medis, orientasi utamanya bukanlah keuntungan, tetapi penyelamatan nyawa.
Profit boleh ada, tetapi tidak boleh menghapus wajah kemanusiaan dari pelayanan kesehatan.
Maka, Kementerian Kesehatan tidak bisa melihat peristiwa ini sebagai “satu kasus yang selesai setelah klarifikasi.” Ada sistem yang cacat di baliknya mulai dari lemahnya implementasi standar pelayanan, minimnya pengawasan etik, hingga hilangnya rasa empati dalam birokrasi medis.
Sistem rumah sakit di Indonesia memerlukan reformasi struktural, bukan hanya pada fasilitas, tetapi juga pada cara berpikir dan nilai dasar yang menjiwai setiap tenaga kesehatan.
Patient Safety dan Nilai Sosial yang Terlupakan
Konsep patient safety, keselamatan pasien tidak hanya soal teknis medis. Ia adalah janji moral antara profesi kesehatan dan publik. Ketika seorang pasien ditolak di pintu rumah sakit karena alasan administratif, maka patient safety telah gugur bahkan sebelum tindakan medis dilakukan.
Kita harus kembali mengingatkan bahwa tenaga kesehatan dan rumah sakit adalah bagian dari sistem sosial, bukan sekadar entitas ekonomi. Di balik setiap pasien ada nyawa, dan di balik setiap nyawa ada hak yang dijamin oleh negara.
Kasus Repan adalah alarm moral bagi sistem kesehatan kita. Ia menampar kesadaran bahwa kemanusiaan sedang diuji di tengah gedung-gedung rumah sakit modern.
Sudah saatnya negara dan seluruh pemangku kebijakan berhenti menganggap kasus semacam ini sebagai “insiden administratif,” dan mulai memandangnya sebagai cermin krisis nilai dalam sistem kesehatan nasional.
Karena di negeri yang beradab, tidak ada manusia yang ditolak hanya karena tidak memiliki KTP terlebih saat ia datang dengan luka dan harapan terakhir pada kemanusiaan. (Red)
*) Anugrah Alqadri, Direktur SanLex Forum