SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Setiap 10 November, medsos penuh postingan “Selamat Hari Pahlawan” lengkap dengan foto Bung Tomo, Soekarno, dan kutipan heroik. Keren sih, tapi pernah nggak kamu mikir, apa cuma mereka yang layak disebut pahlawan?
Karena kalau dipikir-pikir, nggak semua pahlawan punya monumen. Ada juga yang cuma punya niat tulus, tekad kuat, dan keberanian buat bilang: “Aku nggak akan diem aja.”
Pahlawan Itu Bisa Siapa Aja
Bayangin masa perjuangan dulu: di balik tentara dan gerilyawan bersenjata, ada orang-orang desa yang nyiapin logistik, ibu-ibu yang sembunyiin pejuang di dapur, sampai anak kecil yang jadi kurir surat rahasia.
Mereka nggak terkenal, tapi mereka ada. Dan justru karena mereka, perjuangan bisa terus hidup.
Benedict Anderson, sejarawan terkenal, pernah bilang bahwa bangsa itu terbentuk karena “imajinasi kolektif” — rasa percaya bahwa kita berjuang bersama sebagai satu komunitas (Anderson, Imagined Communities, 1983).
Jadi, pahlawan sejati itu bukan soal siapa yang viral, tapi siapa yang nggak berhenti berbuat baik meski nggak disorot kamera.
Kepahlawanan Versi Islam: Nggak Cuma Perang, Tapi Niat
Dalam Islam, konsep pahlawan itu nggak selalu soal medan perang. Rasulullah SAW pernah bilang:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.”
(HR. Ahmad, Thabrani, dan Daruquthni)
Artinya? Siapa pun yang memberi manfaat — sekecil apa pun — udah masuk dalam kategori pahlawan di mata Allah.
Kamu bantu teman yang lagi kesulitan? Kamu pahlawan. Kamu berani speak up soal keadilan? Kamu pahlawan.
Kamu nggak nyontek di ujian padahal semua orang nyontek? Yep, itu juga bentuk kecil dari kepahlawanan.
Dalam sejarah Islam, ada tokoh besar kayak Salahuddin Al-Ayyubi atau Khalid bin Walid, tapi Islam juga menghormati orang-orang biasa yang berjuang dengan niat ikhlas. Karena buat Islam, kemenangan sejati bukan di perang, tapi di hati.
Zaman Berubah, Medan Juang Ikut Bergeser
Sekarang kita nggak lagi berperang lawan penjajah berseragam, tapi masih ada banyak “penjajahan” lain: kemiskinan, kebodohan, korupsi, hoaks, dan ketidakadilan sosial.
Makanya, pahlawan zaman sekarang bisa siapa aja:
Emile Durkheim, sosiolog klasik, bilang bahwa masyarakat sehat itu yang punya moral collective — semangat kebersamaan buat saling jaga (Durkheim, The Division of Labor in Society, 1893).
Nah, para pahlawan masa kini adalah mereka yang menjaga semangat itu tetap hidup.
Pahlawan Nggak Butuh Spotlight
Nggak semua pahlawan pakai seragam. Kadang, mereka pakai seragam sekolah, jaket ojol, atau celemek warung kopi.
Nggak semua pahlawan orasinya disiarkan TV. Kadang, mereka cuma bantu diam-diam, tanpa nama, tanpa pamrih.
KH. Hasyim Asy’ari pernah bilang: “Cinta tanah air adalah bagian dari iman.” (Hubbul wathan minal iman.)
Dan cinta itu bisa ditunjukkan dengan hal-hal kecil — kerja jujur, bantu sesama, nggak nyampah sembarangan, sampai rajin bayar pajak.
Karena kepahlawanan itu bukan tentang besar-kecilnya aksi, tapi ketulusan niat di baliknya.
Akhirnya, Kita Semua Punya Potensi Jadi Pahlawan
Jadi, pas kamu lihat tanggal 10 November di kalender, jangan cuma mikir soal parade dan upacara. Coba tanya ke diri sendiri: “Aku udah jadi pahlawan untuk siapa hari ini?”
Mungkin bukan pahlawan nasional. Tapi pahlawan buat keluarga, teman, komunitas, atau bahkan buat dirimu sendiri. Dan itu, percayalah, sudah lebih dari cukup! Lalu, mengapa pada meributkan gelar pahlawan? (Red)