Oleh: Nur Sabti Xavier *)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Apa yang terjadi di Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri (FATEPA) Universitas Mataram adalah demonstrasi telanjang bagaimana kekuasaan dalam wujudnya yang paling primitif mampu membajak instrumen paling sakral yaitu etika.
Kasus yang menimpa Dr. Ansar bukanlah sengketa administratif biasa. Ini adalah operasi politik brutal yang menggunakan tinta dekan sebagai belati.
Awalnya, sebuah kasus tahun 2018 yang telah mati dan dikubur, bahkan telah selesai di PTUN mendadak dihidupkan kembali laksana zombie. Tujuannya satu, membunuh karakter. Surat Keputusan Dekan No. 2362/UN18.F10/HK/2025 yang menjatuhkan vonis “pelanggaran etik berat” adalah sebuah lelucon hukum yang tragis.
Bagaimana tidak? Vonis dijatuhkan tanpa pengadilan. Di republik akademik bernama FATEPA, rupanya hukum bekerja secara gaib. Tak ada pemanggilan, tak ada klarifikasi, tak ada BAP, tak ada sepotong pun hak untuk membela diri.
Dr. Ansar tidak diadili bahkan dia dieksekusi secara administratif. Ini bukan penegakan disiplin. Ini adalah persekusi yang dilakukan di atas kertas berkop surat resmi.
Dan, ah, timing-nya sungguh sempurna.
SK haram ini terbit persis di musim pemilihan anggota senat universitas. Kebetulan? Hanya orang paling naif di dunia yang percaya pada kebetulan semacam itu.
Ini adalah tembakan sniper yang terkalibrasi. Dengan stempel “cacat etik”, Dr. Ansar otomatis teramputasi dari proses pencalonan. Misinya sangat jelas, membungkam satu suara yang dianggap “berbahaya” atau “berseberangan” dengan barisan petahana.
Ini adalah vote suppression versi intelektual. Kotor, licin, dan menghancurkan. Puncak dari sandiwara busuk ini adalah ketika SK tersebut akhirnya dicabut oleh Dekanat sendiri setelah Dr. Ansar melakukan perlawanan ke PTUN.
Pencabutan itu adalah pengakuan telanjang bahwa SK tersebut memang “sampah” cacat prosedur, tak berdasar, dan diterbitkan dengan niat jahat (mens rea). Tapi apa artinya?
Misi telah tuntas. Dr. Ansar telah sukses dijegal dari senat. Pencabutan SK itu bukan pemulihan nama baik; itu adalah ludah yang dilontarkan ke wajah keadilan setelah perampokan hak politik berhasil dilakukan. Pelaku kini “membersihkan tangan” seolah tak terjadi apa-apa, sementara korbannya tetap kehilangan haknya.
Jika Universitas Mataram membiarkan model kekuasaan semacam ini yang kemudian di mana etika diperkosa menjadi senjata politik, di mana prosedur dihina, dan di mana hak dosen dirampas secara terencana, maka kampus ini sedang melanggengkan kebobrokan.
Laporan ke Irjen Dikti adalah tes terakhir; apakah Kementerian akan ikut diam menyaksikan pembusukan ini, atau berani mengamputasi borok yang menggerogoti integritas lembaganya sendiri. Ini adalah sesuatu hal paling mematikan bagi kebebasan akademik.
Ketika etika yang kemudian seharusnya menjadi perisai moral justru dinajiskan sebagai senjata untuk membunuh lawan politik, maka universitas telah kehilangan jiwanya. Tak lebih baik dari arena pertarungan preman, hanya saja yang ini berdasi dan bergelar doktor.
Inspektorat Jenderal Kementerian Dikti tidak boleh lagi menganggap ini sekadar sengketa lokal. Ini adalah patologi kekuasaan yang akut.
Jika pembunuhan karakter dan perampokan hak politik semacam ini dibiarkan, maka jangan pernah lagi bicara soal “integritas” atau “kebebasan mimbar”.
Yang ada hanya tirani-tirani kecil yang berkuasa di tempat yang rapuh, siap menghabisi siapa saja yang berani tegak lurus. (Red)
*) Nur Sabti Xavier, Menko Polhukam BEM Universitas Mataram 2025