Kampus Tidak Boleh Diam: Kasus Mahasiswa UNY dan Krisis Kepedulian Akademik

Ilustrasi kasus hukum. (Gambar: pinterest)

SUARAMUDA.NET, SLEMAN — Penetapan tersangka terhadap mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Perdana Arie Viriasa, oleh Polda DIY menyisakan tanda tanya besar tentang sikap lembaga pendidikan tinggi terhadap warganya sendiri.

Perdana, yang aktif dalam kegiatan kemahasiswaan dan aksi demonstrasi, kini menghadapi proses hukum. Namun, yang menjadi sorotan bukan semata kasus hukumnya, melainkan sikap pasif pihak kampus dan rektorat UNY yang dinilai enggan memberikan pendampingan hukum.

Pihak kampus beralasan tidak dapat mengintervensi proses hukum karena sudah menjadi ranah kepolisian.

Rektor UNY juga menegaskan bahwa universitas hanya akan membantu jika mahasiswa tersebut mengajukan permohonan resmi untuk pendampingan.

Pernyataan ini memicu kritik keras dari jaringan alumni dan mahasiswa yang menilai kampus telah gagal menunjukkan kepedulian dan tanggung jawab moral terhadap mahasiswanya sendiri.

Sebagai institusi pendidikan, kampus memiliki tanggung jawab lebih dari sekadar urusan akademik. Universitas seharusnya menjadi ruang yang aman bagi kebebasan berpikir, berekspresi, dan menyampaikan pendapat.

Mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan sosial, termasuk demonstrasi, tidak serta-merta harus ditinggalkan ketika menghadapi persoalan hukum.

Pendampingan hukum bukanlah bentuk intervensi, melainkan langkah untuk memastikan hak mahasiswa terlindungi dan proses hukum berjalan secara adil.

Sikap kampus yang menunggu mahasiswa mengajukan permohonan resmi menunjukkan betapa kaku dan birokratisnya sistem saat ini.

Dalam situasi genting seperti penetapan tersangka, mahasiswa bisa saja tidak tahu prosedur administratif atau merasa takut menghadapi konsekuensi akademik.

Kampus yang baik seharusnya proaktif, hadir mendampingi, dan menjamin tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak dasar warganya.

Krisis ini memperlihatkan adanya jarak moral antara nilai-nilai pendidikan yang diajarkan dan tindakan nyata lembaga pendidikan itu sendiri.

UNY, sebagai kampus dengan sejarah panjang dalam pendidikan dan gerakan mahasiswa, semestinya peka terhadap pentingnya keberanian moral dan solidaritas.

Netralitas yang membisu di tengah potensi ketidakadilan bukanlah bentuk profesionalitas, melainkan tanda lemahnya empati dan kepemimpinan moral.

Lebih jauh, sikap pasif ini juga berpotensi menciptakan ketakutan di kalangan mahasiswa untuk menyuarakan kritik sosial.

Jika mahasiswa merasa kampus tidak akan melindungi mereka ketika berhadapan dengan aparat hukum, maka kebebasan akademik dan semangat berpikir kritis bisa teredam.

Kampus yang seharusnya menjadi ruang dialog justru berubah menjadi tempat yang menakutkan bagi mereka yang ingin bersuara.

Jaringan alumni UNY pun menyuarakan keprihatinan. Mereka menilai bahwa universitas seharusnya menjadi pihak pertama yang hadir memberi bantuan hukum dan dukungan moral kepada mahasiswa, bukan bersembunyi di balik alasan “tidak bisa intervensi”.

Kritik ini muncul bukan karena pembelaan buta terhadap individu, tetapi karena kepedulian terhadap prinsip keadilan dan kemanusiaan.

Momentum ini seharusnya menjadi refleksi penting bagi seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Kampus perlu memiliki kebijakan yang jelas mengenai pendampingan hukum bagi mahasiswa yang berhadapan dengan aparat.

Prosedur permohonan bantuan harus dibuat sederhana, transparan, dan tidak menimbulkan rasa takut.

Selain itu, kampus harus membuka ruang dialog yang sehat dengan mahasiswa dan alumni agar kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan tidak semakin terkikis.

Kampus bukan sekadar tempat menuntut ilmu, tetapi juga wadah pembentukan karakter dan nurani sosial.

Saat seorang mahasiswa menghadapi persoalan hukum, terutama dalam konteks perjuangan sosial, universitas seharusnya hadir bukan sebagai hakim, melainkan sebagai pelindung.

Diamnya kampus di tengah ketidakadilan justru memperlihatkan hilangnya nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya menjadi dasar dunia pendidikan.

Jika UNY ingin tetap dihormati sebagai lembaga akademik yang berintegritas, maka keberanian berpihak pada kebenaran harus dikedepankan.

Karena sejatinya, universitas bukan hanya tempat mencetak sarjana, melainkan tempat membentuk manusia yang peka terhadap keadilan. (Red)

Penulis: Said Mahmud Abdullah, email: saidcasper07@gmail.com

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like