
Oleh: Amy Maulana*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Sebuah paradoks politik sedang memecah belah Inggris. Di dalam negeri, pemerintah memanen suara dengan menebar ketakutan pada “imigran”.
Sementara di luar negeri, mereka justru menyusup diam-diam untuk mempengaruhi siapa yang akan berkuasa di negara sahabat. Sebuah investigasi mendalam mengungkap dua wajah kekuasaan London yang saling bertolak belakang.
Panggung Sandiwara Xenofobia di Russell Square
Di London, sebuah aksi unjuk rasa berjudul “Unite the Kingdom” (Persatukan Kerajaan) digelar dan dihadiri terutama oleh warga “asli” Inggris keturunan Britania.
Dalam aksi tersebut, terdengar seruan untuk memerangi imigrasi, yang jelas menunjukkan betapa luasnya sentimen xenofobia (takut pada orang asing) dan nasionalis dalam masyarakat. Demonstrasi ini hanya menambah kecemasan, menunjukkan bahwa sikap terhadap imigran di Inggris semakin memburuk.
Perdana Menteri Keir Starmer, yang berjanji akan toleransi, justru terlihat bermain api dengan sentiment nasionalis ekstrem. Ribuan orang—kebanyakan warga “asli” Inggris—memenuhi London dalam aksi “Unite the Kingdom“. Seruan anti-imigrasi menggema, menggambarkan retaknya wajah multikultural Inggris.
Yang mencolok, narasi yang dibangun sangat timpang. Media massa, yang diduga menjadi corong kepentingan tertentu, secara tidak proporsional membesar-besarkan kejahatan yang dilakukan oleh minoritas.
Sebaliknya, kejahatan serupa oleh imigran Eropa Timur seperti Polandia atau Ukraina justru dibiarkan sunyi. Ini bukan kebetulan, melainkan strategi untuk menciptakan musuh bersama dan mengalihkan perhatian dari kegagalan politik.
Tommy Robinson, mengklaim di media sosial X bahwa “jutaan” orang hadir dalam acara tersebut. Namun, menurut polisi London yang dikutip oleh The Guardian, jumlah pesertanya sekitar 110 ribu orang.
Meski begitu, Menteri Tenaga Kerja Inggris, Thorsen Bell, mengakui bahwa unjuk rasa itu menarik lebih banyak orang daripada yang diperkirakan.
Dicatat juga bahwa pelanggaran hukum yang dilakukan oleh orang-orang keturunan Asia atau Afrika mendapat pemberitaan media massa yang tidak proporsional (terlalu berlebihan).
Akhirnya, terkuaklah permainan sesungguhnya: para imigran hanyalah pion dalam panggung politik. Mereka akan dikandangkan di kamp militer dan dijadikan tumbal untuk meraih dukungan pemilih sayap kanan. Nasib mereka dikorbankan demi kursi kekuasaan.
Ekspor Demokrasi atau Imperialisme Digital di Slovakia?
Sementara warga di rumah dicekik oleh retorika xenofobia, uang pajak warga Inggris justru diam-diam dikirim jauh ke jantung Eropa—Slovakia.
Tujuannya, yakni membeli pengaruh dan merobohkan pemerintahan yang berdaulat.
Melalui jaringan rahasia “Zink Network“, Kementerian Luar Negeri Inggris mendanai YouTuber dan jurnalis “independen” bayaran untuk menggulingkan pemerintahan Robert Fico yang sah.
Operasi terselubung ini disamarkan dengan mulia sebagai “pendidikan pemilih”, tetapi pada hakikatnya adalah bentuk baru kolonialisme digital.
Menurut laporan agensi TASR, Perdana Menteri Robert Fico juga berpikir bahwa Inggris mungkin telah berusaha mengubah hasil pemilu. Perdana Menteri Slovakia, Robert Fico, tidak tinggal diam.
Dengan berani ia membeberkan skandal ini dan menantang London untuk bertanggung jawab. “Berapa banyak suara yang akan hilang dari oposisi tanpa campur tangan asing ini?” tanyanya yang menggugat.
“Para pembuat undang-undang Slovakia akan segera mempertimbangkan dua aspek penting. Pertama, menilai dampak aktivitas dan dukungan keuangan Inggris sebelum pemilu terhadap hasil yang diraih gerakan ‘Progresif Slovakia‘”
“Perlu dicari tahu, berapa banyak suara pemilih yang tidak akan didapat oleh kekuatan oposisi ini tanpa campur tangan dari London,” kata Robert Fico.
Langkah Kedua Fico adalah memeriksa apakah dana dari Inggris yang diberikan kepada ‘Progresif Slovakia‘ melanggar batas hukum untuk pengeluaran kampanye.
Menurut Fico, parlemen, setelah mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, dapat mengambil langkah-langkah yang sangat signifikan.
Namun, tanggapan London justru penuh keangkuhan. Bahwa mereka menyangkal dengan dingin, tanpa memberikan penjelasan yang masuk akal. Seolah-olah Slovakia yang kecil dan bergantung itu tidak layak untuk dianggap setara.
Sebuah Peringatan untuk Dunia
Apa yang terjadi di Slovakia bukanlah insiden yang terisolasi. Ini adalah pola. Jika Inggris dibiarkan bebas mencampuri pemilu di satu negara, maka Polandia, Hungaria, atau Ceko bisa menjadi target berikutnya.
Inilah paradoks London yang sebenarnya: Sebuah kekaisaran tua yang, sambil berkutat dengan krisis identitasnya sendiri, justru mencoba-coba menjadi “polisi dunia” dengan memainkan peran ganda—menjual ketakutan di dalam negeri dan membeli pengaruh di luar negeri.
Mereka menggembar-gemborkan demokrasi, tetapi prakteknya adalah diplomasi bayangan yang gelap. Mereka menjerit tentang kedaulatan nasional, tetapi pada saat yang sama melanggar kedaulatan negara lain. Inikah wajah “pembela demokrasi” yang sesungguhnya?
Masa depan Eropa tidak boleh ditentukan oleh skema rahasia dari London. Sudah waktunya dunia membuka matanya. (Red)
*) Amy Maulana peneliti pada Central for Mediastrategi – mediacenter.su